Oleh : Agus Andreas Tampubolon,
S.Pd[2]
Gambar : ramdhanialqadri.blogspot
Kejujuran adalah nilai keutamaan dalam
etika kehidupan manusia. Sebab manusia yang jujur adalah manusia yang dapat
dipercaya. Untuk itulah, ia disenangi dan didambakan. Ia adalah sahabat
kehidupan.
Namun dalam praktik kehidupan dewasa
ini, manusia jujur semakin langka. Manusia cenderung melakukan
kecurangan-kecurangan dalam kehidupannya. Sebab dengan kecurangan-kecurangan,
manusia lebih mudah untuk mencapai keinginannya. Padahal menusia itu sendiri
sadar bahwa pencapaian tersebut tidak etis.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal tujuannya adalah menginternasilasikan nilai kejujuran. Sekolah kerap
melakukan berbagai upaya agar peserta didik menjadi manusia yang jujur. Oleh
sebab itulah sekolah menekankan kebiasaan-kebiasaan jujur kepada siswa dalam
interaksi di sekolah.
Akan tetapi dalam realitanya, sekolah
tak jarang gagal dalam menanamkan kejujuran kepada peserta didik. Hal tersebut
kerap terjadi ketika situasi ujian. Peserta didik kerap melakukan kecurangan
ketika ujian. Kecurangan tersebut adalah menyontek.
Perilaku menyontek peserta didik di
Indonesia saat ujian bak virus yang telah mewabah. Bahkan peserta didik
menganggap virus ini bukan penyakit, namun obat agar dapat lulus ketika ujian.
Fenomena tersebut adalah masalah
pendidikan kemanusiaan di Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan di Indonesia
bertujuan menghasilkan manusia yang berintegritas dan cerdas, namun dalam
realita yang terjadi justru sebaliknya : cerdas tak tergapai, integritas pun
tergadai.
Siapakah yang harus disalahkan dalam
kondisi ini? Apakah ini salah kepala sekolah, guru, orang tua atau peserta
didik itu sendiri? Maka untuk mengkaji fenomena ini sejatinya perlu analisis yang
mendalam. Namun jika kita harus menarik titik pusat dari masalah ini, maka masalah utamanya adalah ketiadaan
penekanan komitmen individual untuk secara pribadi meyakinkan dirinya bahwa
kejujuran adalah prioritas utama dalam hidup.
Jika kita telah berkomitmen dan
menjadikan kejujuran sebagai prioritas hidup, maka pada situasi apapun kita
akan tetap menjaga nyala prioritas tersebut, meskipun kita berada dalam situasi
yang penuh dengan ketidak-jujuran.
Oleh sebab itu, walaupun dalam situasi
ujian banyak peserta ujian yang menyontek, maka dengan komitmen yang mendalam
tersebut, kita akan yakin bahwa kita akan mengikuti ujian dengan tidak
menyontek. Kita yakin karena kejujuran itu adalah komitmen dan prioritas hidup
kita.
Dengan demikian, kita tidak akan menjadi
pribadi yang takut jika hasil ujian tersebut lulus atau tidak lulus, karena
komitmen dan prioritas utama kita adalah ujian dengan jujur. Dari komitmen dan
prioritas tersebut, kita menyadari bahwa tujuan kita untuk ujian bukanlah untuk
mendapatkan nilai hasil ujian yang tinggi, tapi berkomitmen pada prioritas bahwa
kejujuran sebagai keutamaan. Dengan tujuan tersebut, kita pun memahami untuk
apa kita ikut ujian.
Lantas bagaimana jika kita tidak lulus
ujian karena jujur, sementara orang lain lulus ujian karena menyontek? Maka
jika kita memang sudah yakin bahwa komitmen dan prioritas utama hidup kita
adalah kejujuran – mengapa kita harus khawatir dengan hal ini – bukankah tidak
lulus adalah bagian dari kebahagiaan bahwa : aku lulus dari tes kejujuran yang
aku buat untuk diriku sendiri, bukan lulus dari sesuatu yang tidak aku buat
sendiri.
Namun perlu juga disadari bahwa jujur
juga tidak boleh keliru. Agar kita tidak lantas berbangga hati karena tidak
lulus, namun jujur. Sebab ada keutamaan lain yang bisa kita padu-padankan
menjadi keutamaan yang lebih baik tingkatannya. Hal itu adalah dengan membuat
komitmen dan prioritas bahwa : aku harus belajar dengan sungguh-sungguh agar
mencapai hasil ujian yang baik, dengan tidak menyontek. Jadi ada komitmen dan
prioritas baru: belajar dengan baik; ujian tidak menyontek; dan lulus ujian.
Dengan membuat skala prioritas tersebut,
maka jelaslah bahwa kita sebagai manusia yang jujur, tidak menjadikan kejujuran
sebagai kedunguan, namun menjadikan kejujuran sebagai acuan bahwa prestasi bisa
di capai dengan kejujuran – yakni kejujuran yang dibarengi dengan kerja keras.
Selamat mengikuti ujian dan tetaplah
menjadikan kejujuran sebagai komitmen dan prioritas utama kehidupan kita. “Sebelum
kau membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah terlebih dahulu harimau dalam
dirimu,” kata Mochtar Lubis dalam bukunya Harimau! Harimau!.
Semoga....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar