Jujur Dalam Mengikuti Ujian Tengah Semester - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Selasa, 26 September 2017

Jujur Dalam Mengikuti Ujian Tengah Semester



Jujur Dalam Mengikuti Ujian Tengah Semester[1]
Oleh : Agus Andreas Tampubolon, S.Pd[2]


 Gambar : ramdhanialqadri.blogspot

Kejujuran adalah nilai keutamaan dalam etika kehidupan manusia. Sebab manusia yang jujur adalah manusia yang dapat dipercaya. Untuk itulah, ia disenangi dan didambakan. Ia adalah sahabat kehidupan.

Namun dalam praktik kehidupan dewasa ini, manusia jujur semakin langka. Manusia cenderung melakukan kecurangan-kecurangan dalam kehidupannya. Sebab dengan kecurangan-kecurangan, manusia lebih mudah untuk mencapai keinginannya. Padahal menusia itu sendiri sadar bahwa pencapaian tersebut tidak etis.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tujuannya adalah menginternasilasikan nilai kejujuran. Sekolah kerap melakukan berbagai upaya agar peserta didik menjadi manusia yang jujur. Oleh sebab itulah sekolah menekankan kebiasaan-kebiasaan jujur kepada siswa dalam interaksi di sekolah.

Akan tetapi dalam realitanya, sekolah tak jarang gagal dalam menanamkan kejujuran kepada peserta didik. Hal tersebut kerap terjadi ketika situasi ujian. Peserta didik kerap melakukan kecurangan ketika ujian. Kecurangan tersebut adalah menyontek.

Perilaku menyontek peserta didik di Indonesia saat ujian bak virus yang telah mewabah. Bahkan peserta didik menganggap virus ini bukan penyakit, namun obat agar dapat lulus ketika ujian.

Fenomena tersebut adalah masalah pendidikan kemanusiaan di Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan di Indonesia bertujuan menghasilkan manusia yang berintegritas dan cerdas, namun dalam realita yang terjadi justru sebaliknya : cerdas tak tergapai, integritas pun tergadai.

Siapakah yang harus disalahkan dalam kondisi ini? Apakah ini salah kepala sekolah, guru, orang tua atau peserta didik itu sendiri? Maka untuk mengkaji fenomena ini sejatinya perlu analisis yang mendalam. Namun jika kita harus menarik titik pusat dari masalah ini,  maka masalah utamanya adalah ketiadaan penekanan komitmen individual untuk secara pribadi meyakinkan dirinya bahwa kejujuran adalah prioritas utama dalam hidup.

Jika kita telah berkomitmen dan menjadikan kejujuran sebagai prioritas hidup, maka pada situasi apapun kita akan tetap menjaga nyala prioritas tersebut, meskipun kita berada dalam situasi yang penuh dengan ketidak-jujuran.

Oleh sebab itu, walaupun dalam situasi ujian banyak peserta ujian yang menyontek, maka dengan komitmen yang mendalam tersebut, kita akan yakin bahwa kita akan mengikuti ujian dengan tidak menyontek. Kita yakin karena kejujuran itu adalah komitmen dan prioritas hidup kita.

Dengan demikian, kita tidak akan menjadi pribadi yang takut jika hasil ujian tersebut lulus atau tidak lulus, karena komitmen dan prioritas utama kita adalah ujian dengan jujur. Dari komitmen dan prioritas tersebut, kita menyadari bahwa tujuan kita untuk ujian bukanlah untuk mendapatkan nilai hasil ujian yang tinggi, tapi berkomitmen pada prioritas bahwa kejujuran sebagai keutamaan. Dengan tujuan tersebut, kita pun memahami untuk apa kita ikut ujian.

Lantas bagaimana jika kita tidak lulus ujian karena jujur, sementara orang lain lulus ujian karena menyontek? Maka jika kita memang sudah yakin bahwa komitmen dan prioritas utama hidup kita adalah kejujuran – mengapa kita harus khawatir dengan hal ini – bukankah tidak lulus adalah bagian dari kebahagiaan bahwa : aku lulus dari tes kejujuran yang aku buat untuk diriku sendiri, bukan lulus dari sesuatu yang tidak aku buat sendiri.

Namun perlu juga disadari bahwa jujur juga tidak boleh keliru. Agar kita tidak lantas berbangga hati karena tidak lulus, namun jujur. Sebab ada keutamaan lain yang bisa kita padu-padankan menjadi keutamaan yang lebih baik tingkatannya. Hal itu adalah dengan membuat komitmen dan prioritas bahwa : aku harus belajar dengan sungguh-sungguh agar mencapai hasil ujian yang baik, dengan tidak menyontek. Jadi ada komitmen dan prioritas baru: belajar dengan baik; ujian tidak menyontek; dan lulus ujian.

Dengan membuat skala prioritas tersebut, maka jelaslah bahwa kita sebagai manusia yang jujur, tidak menjadikan kejujuran sebagai kedunguan, namun menjadikan kejujuran sebagai acuan bahwa prestasi bisa di capai dengan kejujuran – yakni kejujuran yang dibarengi dengan kerja keras.

Selamat mengikuti ujian dan tetaplah menjadikan kejujuran sebagai komitmen dan prioritas utama kehidupan kita. “Sebelum kau membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah terlebih dahulu harimau dalam dirimu,” kata Mochtar Lubis dalam bukunya Harimau! Harimau!.

Semoga....



[1] Tulisan ini sebagai bahan pidato Upacara Bendera di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat pada Senin, 02  Oktober 2017
[2] Tenaga pendidik di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar