Bag. 3 : Kata Katak - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Kamis, 29 Maret 2018

Bag. 3 : Kata Katak


Oleh : Agus Andreas Tampubolon

Gambar : Internet

Buk Ani yang tak mendengar lagi suara Jono, merasa yakin bahwa kutu itu memang telah mati. Karena lelah sedari tadi berdiri dan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting itu, Buk Ani ingin menghempaskan tubuhnya ke tempat duduk untuk istirahat sejenak sebelum memulai pembelajaran. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba John mengangkat tangan dan bersuara. Buk Ani menyesal melihat itu, namun naluri keguruannya memaksanya untuk berkata, “Ada apa John? Apa ada yang ingin kamu tanyakan?” Buk Ani geram.

John yang merasa pembicaraan tadi itu tidak terlalu penting, dan justru memikirkan hal lain, langsung berkata, “ja...di Buk, a...pa ar...ti su...ara ‘frokkk...frokkk’ itu?”. John melampiaskan gundahnya.

Mendengar pertanyaan itu, Buk Ani melirik kebawah dan melihat kutu itu ternyata belum mati. Digerakannya kakinya hendak menginjak-injak kutu itu. Namun bukannya terinjak dan mati, kutu itu justru berhasil menghindar sambil cengengesan. Buk Ani yang geram melihat perangai kutu itu, tak sempat membuat perlawanan. Ia harus menjawab pertanyaan John. “Suara ‘frokkk...frokkk’ itu artinya...” buk Ani terdiam, kemudian melanjutkan, “artinya katak itu sedang memohon hujan kepada Tuhan supaya ia bisa bertahan hidup,” jawab Buk Ani sambil mengelus keringat di dahinya.

John yang tak pernah diajarkan ibunya untuk tidak boleh menyebut nama Tuhan dengan sembarangan, merasa tidak puas dengan jawaban buk Ani. Ia heran : bagaimana mungkin suara frog atau katak dapat menjadi semacam doa kepada Tuhan agar turun hujan? Baginya hal itu sangat tidak mungkin, bahkan mustahil. Hujan adalah proses alam yang memang harus terjadi menurut cara alam itu sendiri. “I...tu sangat mus...tahil, buk!”, bantah John. “Bu...kankah ibu sen...diri yang bi...lang, ka...lau hujan i...tu ter...jadi karena peng...ua...pan air la...ut yang diba...wa oleh awan.” Jawab John teringat pada materi pelajaran IPA yang pernah diajarkan buk Ani.

Buk Ani memang pernah mengatakan hal itu pada murid-muridnya. Namun ia tidak menyangka kata-katanya dulu justru menjadi bumerang bagi dirinya. Rasa sesal pernah mengajarkan hal itu memenuhi kepalanya, dan membuat keringatnya mengucur semakin deras. Ia tak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan John kali ini memang ada benarnya dan membuatnya sadar bahwa jawaban sebelumnya justru tampak menjadi tak masuk akal. Buk Ani kebingungan.

John dan teman sekelasnya yang melihat keringat mengucur deras di dahi buk Ani, melirik kebingungan. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berkata-kata. Mereka diam menanti jawaban buk Ani.

Buk Ani tersadar bahwa ia harus memberi jawaban, namun tak tahu harus menjawab apa. Diputarnya otaknya kesana-kemari, jawaban enggan datang. Ia pun sadar bahwa ia tidak membutuhkan jawaban, tapi alasan. Ia pun memutar otaknya untuk mencari alasan. “John, itu adalah rahasia Tuhan,” jawab buk Ani padat, dan kemudian bergegas berkata, “oke anak-anak, sekarang kita belajar MM. Buka buku kalian halaman 60.” Buk Ani menghempaskan badannya ke kursi dan mengelap seluruh keringat dan kebingungan yang sedari tadi menyelimuti dahinya.

Murid-murid pun segera membuka buku pelajaran MM mereka, dan bersiap untuk menerima pelajaran dari buk Ani. Sementara Jono yang masih takut menyebut nama Tuhan dengan sembarangan memilih mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya. Sedangkan John yang belum puas dengan jawaban buk Ani, hendak bertanya kembali. Namun pertanyaannya terbungkam karena hari itu mereka harus belajar MM. Kata-kata John terpenjara dalam kelas yang ventilasinya terbuka lebar.

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar