Oleh : Agus Andreas Tampubolon
Gambar : Internet
Buk Ani yang tak mendengar lagi
suara Jono, merasa yakin bahwa kutu itu memang telah mati. Karena lelah sedari
tadi berdiri dan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting itu,
Buk Ani ingin menghempaskan tubuhnya ke tempat duduk untuk istirahat sejenak
sebelum memulai pembelajaran. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba
John mengangkat tangan dan bersuara. Buk Ani menyesal melihat itu, namun naluri
keguruannya memaksanya untuk berkata, “Ada apa John? Apa ada yang ingin kamu
tanyakan?” Buk Ani geram.
John yang merasa pembicaraan tadi
itu tidak terlalu penting, dan justru memikirkan hal lain, langsung berkata, “ja...di
Buk, a...pa ar...ti su...ara ‘frokkk...frokkk’ itu?”. John melampiaskan
gundahnya.
Mendengar pertanyaan itu, Buk Ani
melirik kebawah dan melihat kutu itu ternyata belum mati. Digerakannya kakinya
hendak menginjak-injak kutu itu. Namun bukannya terinjak dan mati, kutu itu justru
berhasil menghindar sambil cengengesan. Buk Ani yang geram melihat perangai
kutu itu, tak sempat membuat perlawanan. Ia harus menjawab pertanyaan John. “Suara
‘frokkk...frokkk’ itu artinya...” buk Ani terdiam, kemudian melanjutkan, “artinya
katak itu sedang memohon hujan kepada Tuhan supaya ia bisa bertahan hidup,”
jawab Buk Ani sambil mengelus keringat di dahinya.
John yang tak pernah diajarkan
ibunya untuk tidak boleh menyebut nama Tuhan dengan sembarangan, merasa tidak
puas dengan jawaban buk Ani. Ia heran : bagaimana mungkin suara frog atau katak dapat menjadi semacam
doa kepada Tuhan agar turun hujan? Baginya hal itu sangat tidak mungkin, bahkan
mustahil. Hujan adalah proses alam yang memang harus terjadi menurut cara alam
itu sendiri. “I...tu sangat mus...tahil, buk!”, bantah John. “Bu...kankah ibu
sen...diri yang bi...lang, ka...lau hujan i...tu ter...jadi karena peng...ua...pan
air la...ut yang diba...wa oleh awan.” Jawab John teringat pada materi
pelajaran IPA yang pernah diajarkan buk Ani.
Buk Ani memang pernah mengatakan
hal itu pada murid-muridnya. Namun ia tidak menyangka kata-katanya dulu justru
menjadi bumerang bagi dirinya. Rasa sesal pernah mengajarkan hal itu memenuhi
kepalanya, dan membuat keringatnya mengucur semakin deras. Ia tak tahu harus
menjawab apa. Pertanyaan John kali ini memang ada benarnya dan membuatnya sadar
bahwa jawaban sebelumnya justru tampak menjadi tak masuk akal. Buk Ani
kebingungan.
John dan teman sekelasnya yang
melihat keringat mengucur deras di dahi buk Ani, melirik kebingungan. Namun tak
ada satu pun dari mereka yang berkata-kata. Mereka diam menanti jawaban buk
Ani.
Buk Ani tersadar bahwa ia harus
memberi jawaban, namun tak tahu harus menjawab apa. Diputarnya otaknya
kesana-kemari, jawaban enggan datang. Ia pun sadar bahwa ia tidak membutuhkan
jawaban, tapi alasan. Ia pun memutar otaknya untuk mencari alasan. “John, itu
adalah rahasia Tuhan,” jawab buk Ani padat, dan kemudian bergegas berkata, “oke
anak-anak, sekarang kita belajar MM. Buka buku kalian halaman 60.” Buk Ani
menghempaskan badannya ke kursi dan mengelap seluruh keringat dan kebingungan
yang sedari tadi menyelimuti dahinya.
Murid-murid pun segera membuka buku
pelajaran MM mereka, dan bersiap untuk menerima pelajaran dari buk Ani.
Sementara Jono yang masih takut menyebut nama Tuhan dengan sembarangan memilih
mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya. Sedangkan John yang belum puas
dengan jawaban buk Ani, hendak bertanya kembali. Namun pertanyaannya terbungkam
karena hari itu mereka harus belajar MM. Kata-kata John terpenjara dalam kelas
yang ventilasinya terbuka lebar.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar