Cinta Pertama : Saat Kelas II SD - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Minggu, 12 Agustus 2018

Cinta Pertama : Saat Kelas II SD


Gambar : Internet

Oleh : Lentera Dipantara

Cinta pertama adalah perasaan yang datang tanpa disadari.
Ia adalah sikap rasional yang irrasional.
Semakin kita merasionalkannya, semakin irrasional pula cinta pertama itu.
***

Adakah batasan ruang dan waktu pada manusia untuk menyadari cinta pertama-nya? Jika ada, tentu tiap manusia dapat menentukan, kapan saat pertama cinta pertama itu terjadi! Namun jika tak ada, maka tiap manusia pun tak dapat menentukan, kapan saat pertama cinta pertama itu terjadi!
*

Duduk Sini Aja

Pada tahun ajaran baru di pagi hari itu, kelas Boni kedatangan murid baru. Ia perempuan. Kulitnya putih seperti orang Cina, namun tidak bermata sipit. Rambutnya hitam sebahu, dengan badan yang tidak begitu tinggi, namun memikat hati.

“Nama saya Dede,” begitu ia memperkenalkan diri.

Bu Ros yang berdiri di samping Dede memberitahukan, bahwa Dede adalah murid pindahan dari kota Bandung. Boni dan teman sekelas lainnya tidak memahami dimana letak kota Bandung, karena waktu itu murid kelas II SD belum belajar IPS, pelajaran yang menghafal ibukota provinsi yang ada di Indonesia.

Bu Ros mempersilahkan Dede untuk memilih tempat duduk. Ntah karena alasan apa, Dede melangkahkan kakinya ke arah Boni yang duduk sendirian di bangku paling belakang. Boni jadi kikuk dan salah tingkah. Ia berdiri dan mempersilahkan Dede untuk duduk di sebelahnya.

“Duduk sini aja,” kata Boni pada Dede.

Dede tidak menjawab. Ia justru jalan berbalik arah kembali ke samping Bu Ros. Sontak, teman-teman sekelas Boni tertawa, termasuk Bu Ros.

“Kamu duduk dengan Neni saja,” kata Bu Ros. Dede pun duduk dengan Neni di bangku paling depan, tempat yang ntah kenapa selalu dikuasai perempuan saat sekolah.
*

Kamu Cantik, Harus Pinter Juga, Dong!

Meski cantik, Boni merasa Dede bukan murid yang pintar. Waktu itu saat pelajaran Matematika, Bu Ros memberi soal penjumlahan ratusan yang dikerjakan dengan jalan ke- bawah di papan tulis. Dede diminta maju ke depan untuk mengerjakan soal tersebut. Ia tidak bisa mengerjakannya.

“Is ... masa kek gitu aja gak bisa,” ucap Boni tak sengaja.

Dede yang mendengar kata-kata Boni langsung menangis. Boni merasa bahwa selain cantik namun tidak pintar, Dede juga cengeng. Boni memang belum mengerti kenapa wanita gampang menangis. Ia masih kelas II SD.

Bu Ros yang mengetahui bahwa Dede menangis, langsung mengelus-elus rambut Dede, dan berkata, “Jangan nangis ya, sayang. Belajar yang rajin, nanti pasti bisa.”

Dede tetap terisak-isak. Semakin lama semakin pelan, sambil berlalu ke tempat duduknya.

“Kalau begitu, Boni saja yang menyelesaikan soalnya,” tantang Bu Ros pada Boni.

Jika di Korea Selatan ada wajib militer, maka di Indonesia ada wajib belajar. Biasanya disediakan “rotan motivasi” dalam wajib belajar. “Rotan motivasi” itu tidak difungsikan setiap saat. Ia hanya berfungsi pada anak-anak nakal dan bodoh. Mungkin juga hanya pada anak jelek saja, karena Dede yang cantik tidak memerlukan “rotan motivasi” itu.

Sepertinya “rotan motivasi” itu akan difungsikan pada Boni. Ia jelek, dan suka mengejek. Apalagi korban ejekannya sampai menangis. Jika ia tidak bisa menjawab soal matematika itu, sekiranya pantas untuk menyentuhkan “rotan motivasi” itu dengan tenaga pada kulit Boni, murid kelas II SD itu.

Ternyata, “rotan motivasi” itu tidak jadi difungsikan karena Boni berhasil menjawab soal Matematika itu dengan cepat dan tepat. Namun apakah “rotan motivasi” itu tetap layak untuk dipertahankan? Ntahlah...

Saat melangkahkan kaki kembali ke bangkunya, Boni menatap Dede. Tatapannya dalam hendak menyampaikan sesuatu : “Maafkan kata-kataku ya, De. Kamu cantik, harus pinter juga, dong!”
*

Kado Wajik Bandung

Senin pagi itu, kelas Boni heboh. Penyebabnya adalah selembar kertas berlipat yang berlatarkan gambar animasi kartun Son Goku. Saat itu, serial animasi kartun Son Goku yang ditayangkan di stasiun televisi Indosiar setiap Minggu pagi adalah serial animasi kartun tervaforit bagi murid laki-laki. Maka, hari Senin pagi adalah jadwal diskusi tentang Son Goku. Biasanya saat diskusi, Boni dan teman-teman laki-laki lainnya mempraktekkan jurus “hame-hame” Son Goku.

Namun kali ini, Boni dan teman-temannya itu tidak mempraktekkan “hame-hame” dengan gaya masing-masing karena selembar kertas tersebut : Undangan Perayaan Ulang Tahun Dede yang ke-7.

“Wah, ulang tahun itu apa?” tanya Agus, yang jika ditanya tanggal lahirnya oleh Bu Roso saja tak pernah ingat.

“Ulang tahun itu tiup lilin,” jawab Sunar.

“Baca, lah, woi! Aku baru kali ini dapat undangan ulang tahun,” mohon Agus yang belum fasih membaca.

“Boni aja yang baca,” sahut Sunar. Boni pun membaca undangan ulang tahun yang pertama sekali mereka alami sepanjang hidup mereka.

Boni dan teman-temannya menghadiri pesta ulang tahun pertama yang mereka alami. Mereka bersepakat menjadikan rumah Boni sebagai tikum (titik kumpul) sebelum berangkat berjalan kaki ke rumah Dede.

“Kalian bawa kado apa?” tanya Sunar dalam perjalanan.

“Loh, ke pesta ulang tahun bawa kado, ya?” jawab Agus.

“Jadi, kau gak bawa kado? Aku aja bawa kado satu bungkus indomi. Mamakku yang bungkus tadi pake kertas kado,” Sunar bercerita.

“Enggak. Kata mamakku, datang aja gak usah bawa kado,” jawab Agus polos.

“Mamakmu gak punya duit itu,” Boni mengejek.

“Emang, kau bawa kado apa?” tanya Agus.

Boni pun menunjukkan kadonya. Kado Boni adalah sebuah buku tulis yang dibuat berbentuk tabung, yang kemudian dibungkus dengan kertas kado, dimana tiap ujungnya ada rumbai-rumbainya diujung kertas kado yang digunting kecil-kecil sehingga mirip seperti kue Wajik Bandung.

“Wah, kadomu keren, ya? Gak kayak kadoku!” Sunar menunjukkan kadonya yang dibungkus biasa saja dengan kertas kado. Mereka pun asyik bercerita tentang kado sambil tertawa.

Sebelum meniup lilin pada acara puncak perayaan ulang tahun Dede, diadakan permainan oper-operan bungkus korek api yang diiringi dengan lagu Selamat Ulang Tahun. Setiap tamu harus membongkar bungkus korek api untuk kemudian memasangnya kembali sebelum lagu dihentikan. Siapa yang memegang bungkus korek api ketika lagu sudah dihentikan, maka dia harus mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dede dan memberikan kado yang dibawanya.

Saat itu, ntah sengaja, atau tidak disengaja. Ingin, atau tidak ingin. Boni menjadi orang terakhir yang memegang bungkus korek api setelah lagu dihentikan. Setiap orang yang hadir pun menyorakkan namanya, “Boni ... Boni ... Boni.”

“Ayo, Boni, ucapkan selamat ulang tahun sama Dede, ya,” ucap kakak pembawa acara. “Terus kasih kadonya ke Dede,” sambungnya.

Boni yang tidak pernah mengikuti perayaan ulang tahun bingung dan malu. Apalagi sorak-sorai teman-temannya tiada henti menggema. Ia berdiri, lalu melirik ke arah Dede sambil memegang kado Wajik Bandung itu, tanpa mengucapkan apa-apa.

Kakak pembawa acara pun menyemangati Boni agar berani mengucap selamat ulang tahun kepada Dede.

“Selamat ulang tahun, ya, De,” ucap Boni disambut sorak-sorai.

“Kasih lah kadonya sama Dede,” sahut kakak pembawa acara.

Boni pun melangkah ke arah Dede dan memberi kadonya yang mirip Wajik Bandung itu. Mereka pun foto bersama dengan kamera berwarna hitam yang masih menggunakan rol filem. Kamera dengan rol filem itu menyimpan foto yang kini tak diketahui keberadaanya. Masih tersimpan atau lenyap ditelan masa.

Acara ulang tahun pun dilanjutkan. Dede meniup lilin ulang tahunnya penuh bahagia dengan diiringi lagu Tiup Lilinnya yang dinyanyikan oleh setiap orang yang hadir pada perayaan ulang tahun itu sambil bertepuk tangan.

Hari Terakhir

Esok harinya, kelas Boni kembali heboh. Kali ini bukan disebabkan oleh selembar kertas undangan ulang tahun berlatar gambar animasi kartun Son Goku, melainkan selembar informasi tentang keberadaan Dede yang disampaikan oleh Bu Ros, bahwa : Dede pindah sekolah.

Boni tidak pernah tahu alasan apa dan mengapa Dede pindah sekolah. Yang ia tahu bahwa pindah sekolah berarti tak berjumpa lagi selamanya. Seperti kota Bandung yang ia tidak ketahui letak keberadaanya, begitu pula dengan Dede yang kini tak ia ketahui letak keberadaannya.

Boni Sedih. Ia merasa pertemuannya dengan Dede begitu singkat. Walau ia tidak tahu arti singkat. Yang ia tahu bahwa ia masih duduk sendirian di bangku paling belakang, dan merasa sempat jadi sok jagoan untuk berdiri dan mempersilahkan Dede untuk duduk bersamanya.

Boni berharap, kado buku tulis yang dibungkus kertas kado sehingga mirip Wajik Bandung, yang ia berikan saat ulang tahun Dede itu, dapat Dede gunakan untuk belajar mengerjakan soal Matematika penjumlahan ratusan dengan jalan ke bawah. Agar kelak, jika ada temannya yang tidak bisa mengerjakannya, ntah itu cantik atau jelek, pintar atau bodoh, ia tidak latah sehingga mengejek, dan ditumbalkan untuk mengerjakan soal tersebut dengan ancaman “rotan motivasi” dengan sentuhan tenaga.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar