Mencari Sebutir Emas Ditumpukan Pasir - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Senin, 15 Januari 2018

Mencari Sebutir Emas Ditumpukan Pasir



Oleh : Agus Andreas Tampubolon, S.Pd
Gambar Penambang Emas : Internet

Seandainya kita pernah melihat, bagaimana penambang emas tradisional bekerja, pastilah kita menginsafi, betapa luar biasanya keteguhan mereka mencari sebutir emas. Bagaimana tidak, untuk mencari sebutir emas itu, mereka harus mengangkat pasir yang basah dengan otot-otot mereka yang kokoh. Kemudian mengayaknya di suatu tampi dari bambu, dan memilah-milahnya. Jika beruntung, mereka pun mendapat emas. Jika tidak, mereka harus terus mengulangnya, sampai mereka menemukannya.

Jika hari yang diberikan Sang Hyang Gusti berpihak pada mereka, dan mendapatkan emas itu, betapa bahagianya lah mereka. Emas sebutir itu pun mereka jual pada pengepul. Sayang, dan sangat disayangkan, harga emas tak sebanding dengan perjuangan mereka. Namun hidup harus terus berjalan, mencari sebutir emas tetap menjadi pilihan : daripada mati tergerus laju kehidupan. Sungguh emas : primadona yang menggiurkan bagi para hartawan, namun memilukan bagi si papa.
***
Cerita di atas hanya sebuah analogi, dari hari-hari yang akan kita jalani di 2018, tahun dimana para pengamat politik mengatakannya sebagai tahun politik. Kita pun dipaksakan, pada suatu pilihan, dimana harus memilih, pemimpin yang mengumbar janji bahwa ditangannya kelak kesehjateraan rakyat bukan sekedar utopi.

Namun hari-hari yang lalu yang pernah berlalu itu, pernah menuliskan rekam sejarah, bahwa ilusi kontestasi politik tak pernah menghadirkan sosok politisi, hanya politikus. Janji-janji itu tak pernah, atau mungkin tak akan pernah mengubah si penambang emas yang papa itu, bahwa hari esok, ia tidak lagi menjadi penambang emas, namun pemilik emas dan pemakai emas di kala ia pergi kondangan.

Lantas, akankah kita menemukannya? Pemimpin yang kita bayangkan dalam sepenggal fragmen tentang Ratu Adil, bahwa akan lahir dari jagad katulistiwa Ibu Pertiwi pemimpin yang adil, bukan lalim. Sementara, dunia klenik yang penuh misteri itu kini telah berubah, menjadi dunia moderen yang menguatkan pada eksistensi individu : kebebasan dan rasionalitas. 

Oleh sebab itu, kita harus berubah, dari kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk, menjadi kebiasaan baru yang cerah, seperti awan merah yang merekah di pagi hari, bahwa ada asa, ada mimpi, ada kemungkinan-kemungkinan kita untuk berharap. Ya, kemungkinan kita untuk berharap!

Kita harus memilih, dan jangan hanya mendendangkan tembang lirih. Kita harus melakukan sesuatu. Kita harus yakin pada eksistensi diri kita bahwa : satu suara kita berharga untuk sebuah kemenangan yang sejati. Kemenangan yang tentu bukan dan akan kita dapat dari hasil hitungan suara di KPU. Namun kemenangan bahwa “aku” memberi sumbangsih untuk suatu harapan yang tampak kosong itu. 

Kemenangan itu hanya bisa kita dapat jika kita mencari, memilah dan menemukan sebutir emas dari tumpukan pasir yang banyak itu. Pencarian yang sama seperti penambang emas tradisional itu : sulit, melelahkan dan sejatinya menjijikan. Nyatanya inilah pilihan atas konsesnsus yang disepakati oleh para Pendiri Bangsa kita : demokrasi.

Saya pun menutup tulisan sederhana ini dengan sebuah pepatah lama yang sedikit saya ubah : emas tetap lah emas, meski di dalam tumpukan pasir. Emas pasti berkilau, dan pasir tidak. Jika emas yang kita temukan itu tidak hadir pada sosok pemimpin yang tertemukan pada kontestasi politik yang kompleks itu, setidaknya emas itu kita temukan pada diri kita yang kompleks jua : mencari, memilah dan menemukan emas yang murni pada setumpuk pasir dalam diri kita.

[1] Tulisan ini sebagai bahan pidato pada upacara peringatan bendera, Senin, 12 Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar