Oleh
: Agus Andreas Tampubolon, S.Pd
Gambar Penambang Emas : Internet
Seandainya kita pernah
melihat, bagaimana penambang emas tradisional bekerja, pastilah kita
menginsafi, betapa luar biasanya keteguhan mereka mencari sebutir emas.
Bagaimana tidak, untuk mencari sebutir emas itu, mereka harus mengangkat pasir
yang basah dengan otot-otot mereka yang kokoh. Kemudian mengayaknya di suatu
tampi dari bambu, dan memilah-milahnya. Jika beruntung, mereka pun mendapat
emas. Jika tidak, mereka harus terus mengulangnya, sampai mereka menemukannya.
Jika hari yang
diberikan Sang Hyang Gusti berpihak pada mereka, dan mendapatkan emas itu,
betapa bahagianya lah mereka. Emas sebutir itu pun mereka jual pada pengepul.
Sayang, dan sangat disayangkan, harga emas tak sebanding dengan perjuangan mereka.
Namun hidup harus terus berjalan, mencari sebutir emas tetap menjadi pilihan :
daripada mati tergerus laju kehidupan. Sungguh emas : primadona yang
menggiurkan bagi para hartawan, namun memilukan bagi si papa.
***
Cerita di atas hanya
sebuah analogi, dari hari-hari yang akan kita jalani di 2018, tahun dimana para
pengamat politik mengatakannya sebagai tahun politik. Kita pun dipaksakan, pada
suatu pilihan, dimana harus memilih, pemimpin yang mengumbar janji bahwa
ditangannya kelak kesehjateraan rakyat bukan sekedar utopi.
Namun hari-hari yang
lalu yang pernah berlalu itu, pernah menuliskan rekam sejarah, bahwa ilusi
kontestasi politik tak pernah menghadirkan sosok politisi, hanya politikus. Janji-janji
itu tak pernah, atau mungkin tak akan pernah mengubah si penambang emas yang
papa itu, bahwa hari esok, ia tidak lagi menjadi penambang emas, namun pemilik
emas dan pemakai emas di kala ia pergi kondangan.
Lantas, akankah kita
menemukannya? Pemimpin yang kita bayangkan dalam sepenggal fragmen tentang Ratu
Adil, bahwa akan lahir dari jagad katulistiwa Ibu Pertiwi pemimpin yang adil,
bukan lalim. Sementara, dunia klenik yang penuh misteri itu kini telah berubah,
menjadi dunia moderen yang menguatkan pada eksistensi individu : kebebasan dan
rasionalitas.
Oleh sebab itu, kita
harus berubah, dari kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk, menjadi kebiasaan baru
yang cerah, seperti awan merah yang merekah di pagi hari, bahwa ada asa, ada mimpi,
ada kemungkinan-kemungkinan kita untuk berharap. Ya, kemungkinan kita untuk
berharap!
Kita harus memilih, dan
jangan hanya mendendangkan tembang lirih. Kita harus melakukan sesuatu. Kita
harus yakin pada eksistensi diri kita bahwa : satu suara kita berharga untuk
sebuah kemenangan yang sejati. Kemenangan yang tentu bukan dan akan kita dapat
dari hasil hitungan suara di KPU. Namun kemenangan bahwa “aku” memberi sumbangsih
untuk suatu harapan yang tampak kosong itu.
Kemenangan itu hanya
bisa kita dapat jika kita mencari, memilah dan menemukan sebutir emas dari
tumpukan pasir yang banyak itu. Pencarian yang sama seperti penambang emas
tradisional itu : sulit, melelahkan dan sejatinya menjijikan. Nyatanya inilah
pilihan atas konsesnsus yang disepakati oleh para Pendiri Bangsa kita :
demokrasi.
Saya pun menutup tulisan
sederhana ini dengan sebuah pepatah lama yang sedikit saya ubah : emas tetap
lah emas, meski di dalam tumpukan pasir. Emas pasti berkilau, dan pasir tidak. Jika emas yang kita
temukan itu tidak hadir pada sosok pemimpin yang tertemukan pada kontestasi
politik yang kompleks itu, setidaknya emas itu kita temukan pada diri kita yang
kompleks jua : mencari, memilah dan menemukan emas yang murni pada setumpuk
pasir dalam diri kita.
[1] Tulisan
ini sebagai bahan pidato pada upacara peringatan bendera, Senin, 12 Februari
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar