Oleh : Agus Andreas Tampubolon
Gambar : Internet
Pagi ini, kedatangan Jono dan
John beserta frokkk...frokkk menjadi biang kegaduhan di kelas. Frokkk...frokkk
yang ingin hidup di alam bebas berhasil meloloskan diri dari penjara toples. Ia
lompat kesana-kemari sehingga memantik histeria siswa putri. Jono dan John yang
khawatir frokkk...frokkk kabur dan mereka tidak dapat membuktikan rasa ingin
tahunya pun menangkapnya kembali. Frokkk...frokkk masuk penjara toples untuk
kedua kalinya.
Buk Ani, guru Jono dan John, yang
mendengar keributan itu memacu langkahnya untuk segera tiba di kelas.
Sesampainya di kelas, buk Ani mempertanyakan penyebab histeria tersebut. Sontak
siswa putri pun berteriak dan menjawab bahwa histeria itu disebabkan oleh
keberadaan frokkk...frokkk. Buk Ani bingung dan bertanya apa itu
frokkk...frokkk. Para siswa menatap dan menunjuk ke arah tempat duduk Jono dan John.
Buk Ani menatap tajam Jono dan John penuh amarah. Jono yang ketakutan segera
menunjukkan penjara toples kepada buk Ani dengan menundukkan kepala.
“Mengapa kamu membawa ini ke
sekolah, Jon?” tanya buk Ani.
Jono yang takut dimarahi memilih
diam. Melihat perangai Jono itu, John yang masih menyimpan rasa ingin tahu
mengambil alih pertanyaan. Ia menjawab, “ka...mi mem...bawa itu ka...rena ingin
ber...tanya pa...da ibu,” kata John terbatah-batah tanpa rasa takut akan
kesalahan.
“Apa yang ingin kalian tanyakan,
John?” tanya buk Ani melunak.
“Ka...mi ingin ta...hu, hewan
apa...kah yang a...da di da...lam toples i...tu, buk?” tanya John penasaran.
Buk Ani heran dengan pertanyaan
itu. “Itu katak,” jawab Buk Ani tegas penuh keyakinan.
Jono melirik John penuh
kemenangan. Namun untuk menyempurnakan kemenangannya itu, ia bertanya lagi, “tapi
buk, kata John, hewan itu bukan katak. John bilang, hewan itu adalah frog,” tanya Jono dengan ketakutan yang telah
memudar.
Buk Ani pun menjelaskan, “hewan
itu dikatakan katak oleh orang Indonesia, namun dikatakan frog oleh orang Inggris. Perbedaan tersebut hanya disebabkan oleh
perbedaan bahasa saja,” jawab buk Ani disambut anggukan kepala siswa lain.
Mendengar jawaban itu, Jono jadi
teringat kata-kata John : karena memiliki suara yang sama itulah maka ia
dikatakan frog, bukan katak. Jono pun
merasa bahwa pendapat John cukup masuk akal. Otaknya berputar dan berkata-kata
pada dirinya : pendapat John itu masuk akal, Jono. Bisa jadi dulunya orang
Inggris penasaran dengan suara “frokkk...frokkk” dari balik semak itu. Rasa
penasaran mereka pun berubah jadi rasa ingin tahu. Mereka akhirnya mencari asal
suara itu. Ketika berhasil, mereka mulai mengamatinya dan kemudian menciptakan
kata yang cocok untuk temuan barunya itu. Karena temuan barunya itu bersuara
“frokkk...frokkk” maka mereka pun akhirnya menamakannya frog, bukan katak. Mereka pun menyepakatinya, hingga akhirnya saat
ini semua orang Inggris mengatakannya frog.
‘Sungguh masuk akal!’ Jono
kegirangan dalam hati. Namun otaknya berputar dan berkata-kata lagi : tapi
Jono, bagaimana dengan kata katak di Indonesia? Bagaimana dan darimana kata
katak itu berasal? Apa mungkin dulunya frokkk...frokkk itu keliling dunia
hingga akhirnya tiba di Indonesia? Apa mungkin setelah tiba di Indonesia, ia
kepanasan dan akhirnya mengubah suaranya
menjadi “krokkk...krokkk”? ‘Apa ini masuk akal?’ jawab Jono bimbang di dalam
hati.
“Bagaimana Jono, apakah kamu
sudah paham?” tanya Buk Ani.
Jono yang sedari tadi berpikir,
tersentak dengan pertanyaan itu dan merenung kembali : apa aku sudah paham?
Kalau pun sudah paham, apa sebenarnya yang aku paham? Apa aku sudah paham kalau
kata frog berasal dari suara
‘frokkk...frokkk’? Apa aku sudah paham bahwa kata katak adalah bahasa
Indonesia, dan kata frog adalah
bahasa Inggris? Apakah itu hanya sebuah kebenaran hasil dari kesepakatan
belaka? Dan apakah salah jika aku tidak setuju dengan kesepakatan itu, dan
ingin membuat kesepakatan sendiri antara aku dan frokkk...frokkkk. Lantas kami
pun bersepakat dan aku menamainya : John. Jono pusing, namun merasa lucu dengan
pikirannya yang terakhir : frokkk...frokkk adalah John.
“Bagaimana Jono? Kenapa kamu diam
saja? Apakah kamu sudah paham?” tanya Buk Ani dengan suara meninggi.
Jono terkejut, dan tiba-tiba
bersuara, “saya belum paham, buk. Saya
belum paham kenapa orang Indonesia mengatakannya katak, sedangkan orang Inggris
mengatakannya frog. Otak saya bingung
dan berbisik-bisik pada saya, katanya : Jono, darimanakah asal kata-kata itu?
Saya tidak tahu jawabannya, buk! Apakah ibu tahu jawabannya? Biar saya bisa
menjawab pertanyaan otak saya itu!” pertanyaan Jono mengalir deras bagai air
terjun yang turun lepas tanpa beban.
Buk Ani menggaruk-garuk
kepalanya. Seekor kutu lompat dan jatuh ke lantai. Ia memandang ke arah
siswanya, dan yakin bahwa mereka tak melihat kutu itu lompat. Ia pun memandang
ke arah kutu itu dan menginjak-injaknya sambil berujar dalam hati : dasar kutu
sialan. Puas melampiaskan amarahnya pada kutu itu, buk Ani memandang ke arah
Jono yang masih menanti jawabannya. Buk Ani menjawab, katanya, “Tuhan yang
pertama kali mengajarkan kata-kata kepada manusia. Setelah manusia mengetahui
kata-kata itu, Tuhan memberi kepintaran kepada manusia agar bisa menciptakan
kata-kata menurut cara mereka sendiri. Kepintaran itulah yang menyebabkan ada
banyak kata-kata sehingga kita sekarang mengenal ada banyak bahasa di dunia.”
Buk Ani melirik kutu yang sudah terkapar itu dan merasa yakin kutu itu sudah
mati.
Jono yang sering diajarkan ibunya
untuk tidak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan, tidak berani lagi
membantah. Menurutnya jawaban itu juga cukup masuk akal. Ia pun menjelaskan
jawaban buk Ani itu pada otaknya. Otaknya memilih diam, takut kualat.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar