Cinta, Kesetiaan dan Waktu - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Jumat, 17 November 2017

Cinta, Kesetiaan dan Waktu



Oleh : Agus Andreas Tampubolon

Gambar/Ilustrasi : Internet
 
Jejak hasrat yang menggelora tertapak di hamparan pasir. Dua sejoli bertatapan dan mendesah penuh gairah. Beradu dengan desau angin laut yang tipis dan berbisik : terlalu muda.

Namun siapa dapat memahami kisah sejoli? Ketika ombak nafsu dahsyat-dahsyatnya meluncur, deras dan tinggi. Nikmat, hanya nikmat yang ingin segera dituntaskan.

Langit kian meninggi. Ombak beranjak silih berganti. Sepenggal kisah roman sementara berlatar di atas pasir yang di terpa ombak hanya sekedar pergi. Ia menyisahkan jejak yang datang kembali dalam ingatan yang dingin dan sunyi. Ia adalah : Almira.
*

Almira duduk di atas pasir. Ia memandangi goresan luka di langit yang memerah. Sementara angin berhembus dingin dan membisikkan gundah gulana hatinya : cinta dan penyesalan.

Bram datang mendekat. Ia duduk di samping Almira tanpa kata. Mengikuti pandangan matanya dengan sebersit tanya yang tertahan. Diam bersama mentari yang meredup.

Almira menudukkan kepala, terisak-isak dan menitikkan air mata. Gores luka menahannya untuk bercerita. Malu pada senja yang lalu.

Bram menatap Almira penuh curiga. Hembusan angin berbisik memaksa : tanya ia Bram.

“Kamu kenapa Almira?” tanya Bram terdesak dan curiga.

Almira diam. Isak tangisnya mengeras.

“Kamu kenapa Almira?” Bram bingung, tidak terdesak oleh angin, tapi curiga.

Almira tetap tertunduk dengan isak tangis yang mulai menurun, dingin dan kaku.

“Kamu merindukannya Almira. Ia pasti kembali. Ia hanya pergi untuk sementara. Ia sangat mencintaimu.” Bram mencoba meyakinkan Almira.

Almira ingin bicara. Namun suaranya tertahan di lidah. Ia ingin menjelaskan pada Bram : bukan itu Bram. Kamu tidak mengerti!.

“Kenapa Almira? Apa kamu curiga dan meragu? Ingat Almira, cinta adalah kesetiaan. Selama kesetiaan tergadaikan, maka cinta telah digadaikan.” Bram menatap awan yang mulai menghitam, lalu melanjutkan, “Aku percaya padanya. Ia mencintaimu, dan kamu mencintainya. Biarlah waktu yang membuktikan cinta kalian. Sedangkan aku...” Bram diam, merunduk, menatap bintang yang mulai muncul, “...Sedangkan aku hanya menunggu di sela-sela waktu. Kamu paham itu Almira!.” Suara Bram mengeras. Ia kecewa, berdiri dan meninggalkan Almira.

Bram berbalik menoleh ke arah Almira, berteriak, “Aku mencintaimu Almira. Namun aku tak pernah memaksamu untuk memilihku. Kamu telah memilihnya. Ingat Almira, cinta adalah kesetiaan.” Suara Bram melengking, beradu dengan desau angin. “Ingat pesanku itu Almira!.” Bram menjauh, pergi.

Almira menoleh ke arah Bram yang menjauh di telan gelap. Angin mendesaknya : panggil ia kembali Almira. Katakan padanya!.

Almira bangkit, “Kamu tidak mengerti Bram!” suaranya melengking.

Bram berhenti, berbalik, lalu berteriak, “Apa yang tak aku mengerti Almira?.”

Almira berlari mendekati Bram, menghempaskan tubuhnya, mendekapnya erat. Kepalanya disandarkan di bahu Bram, membasahinya dengan tetes air mata. Ia tak berani bicara, hanya memeluk semakin erat.

Bram bingung. “Ada apa Almira?” tanyanya berulang kali sambil mengelus kepala Almira dengan sopan.

Almira diam dan terus menangis.

“Ceritakan apa masalahmu Almira? Aku tak akan pernah bisa mengerti tanpa pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!” Bram mendesak.

“Aku tidak perawan lagi Bram!” Almira memeluk Bram tambah erat.

Bram terdiam. Tangannya terhenti di kepala Almira, tak mengelusnya kembali.

Almira semakin erat memeluk Bram. Sambil terisak-isak, ia berbicara tersedu-sedu, “Aku perempuan hina Bram! Aku sudah tidak perawan! Sesuci-sucinya perempuan, ialah ia yang mampu mempertahankan keperawanannya!.” Almira menumpahkan nelangsanya.

“Apa arti perawan?” tanya Bram sambil memandang rembulan.

Almira terkejut. Ia hancur dan tak membutuhkan filosofi. “Apa maksudmu Bram?” mata Almira menatap Bram.

Pantulan kilau rembulan di atas air laut,  hembusan angin yang bergerak bebas, dan deburan ombak yang bersuara, memaksa, dan terus memaksa Bram, untuk menjadi sesuatu, atau berbuat sesuatu, yang sebenarnya ia tak mengerti.

“Mari kita duduk Almira, menikmati keindahan laut ini, dan mencoba menggali maknanya.” Bram dan Almira duduk di atas pasir, melingkarkan tangan di lutut.

Bram menoleh ke samping, lalu berkata, “Almira, coba lihat sampingmu?.

Almira menoleh. Kosong.

Apa kamu melihat sesuatu?.”

“Aku hanya melihat deburan ombak di atas pasir, datang lalu pergi, dan begitu seterusnya.”

“Apa kamu tidak melihat sesuatu?”
  
Almira heran, dan menggeleng-gelengkan kepala.

Bram menatap pasir dan ombak itu, dan berkata, “Aku melihat jejak kaki di atas pasir itu. Jejak kaki yang selamanya ada, dan akan tetap ada.” Bram menoleh ke depan, memandangi laut yang indah.

Almira menatap tajam Bram. Kemudian memandang deburan ombak di atas pasir itu, tertunduk, sedih, bingung, dan kacau. Ia belum mengerti.

Bram memahami kekosongan pandangan Almira, ia melanjutkan, “Almira, keperawanan adalah pasir yang terinjak, dan meninggalkan jejak, yang coba di hapus oleh deburan ombak yang datang silih berganti. Jika ombak kecil yang datang, ia tidak menghapus jejak itu. Namun jika ombak besar yang datang, ia bukan hanya menghapus jejak itu, namun menghancurkannya.” Bram menoleh, dan memandang mata Almira. “Ingat Almira, selama masih ombak kecil yang datang, kamu harus bertahan, tanpa keraguan. Namun jika ombak besar yang datang, kamu tidak boleh bertahan, ia bukan hanya menghapus jejak itu, namun telah menghancurkannya.” Mata Bram berkaca-kaca.

Almira memandangi laut yang indah, ragu, namun telah mengerti. “Masih adakah yang menerimaku, jika ombak besar yang datang menerpa pasir itu?”

Bram menatap Almira penuh keyakinan, tajam. “Cinta adalah kesetiaan. Kesetiaan dibuktikan oleh waktu.” Bram menggenggam jari lentik Almira, dan melanjutkan, “Waktu sangat menjijikkan, namun cinta terus memaksa, untuk tetap setia pada waktu, yang ia sendiri tak mengetahuinya.” Bram menggenggam jari lentik Almira semakin erat.

Almira memandang laut yang indah, tanpa ragu, dan mengerti. “Aku mencintaimu Bram. Namun aku harus membuktikan kesetiaan. Jika nanti ombak besar yang datang, aku harus pergi!” Almira melepaskan jari lentiknya dari tangan Bram.

Bram tersenyum. Mereka duduk berdua menikmati laut yang indah, tanpa kata-kata.
*

Ombak besar datang, sesaat setelah kembalinya kekasih Almira ke pasir itu, yang ditemani isak tangis seorang bayi mungil dalam pelukan ibunya. Kekasih Almira telah menikah.

Almira tidak kecewa, tidak sedih, apalagi hancur. Ia mengerti, dan tak ingin berlindung kembali di bahu Bram serta membasahinya dengan tetes air mata. Ia mencintainya, namun tak berhasrat lagi untuk memilikinya. Baginya cinta, kesetiaan dan waktu adalah misteri yang terdapat pada laut yang dalam dan dingin. Dan Almira memilih untuk hidup didalamnya.

Bram juga tidak kecewa, tidak sedih, apalagi hancur. Ia hanya teringat kembali pada pesan terakhir Almira, ‘jika ombak besar datang menghampiri pasir itu, aku harus pergi.’ Dan Almira telah memilih untuk pergi selama-lamanya. Ia membuktikan cinta, kesetiaan dan waktu dengan caranya sendiri. Ia meninggalkan jejak dengan penuh makna di atas pasir itu tentang arti cinta, kesetian dan waktu yakni : keabadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar