Oleh : Agus Andreas Tampubolon
Gambar/Ilustrasi : Internet
Jejak hasrat yang menggelora tertapak di
hamparan pasir. Dua sejoli bertatapan dan mendesah penuh gairah. Beradu dengan
desau angin laut yang tipis dan berbisik : terlalu muda.
Namun siapa dapat memahami kisah sejoli?
Ketika ombak nafsu dahsyat-dahsyatnya meluncur, deras dan tinggi. Nikmat, hanya
nikmat yang ingin segera dituntaskan.
Langit kian meninggi. Ombak beranjak silih
berganti. Sepenggal kisah roman sementara berlatar di atas pasir yang di terpa
ombak hanya sekedar pergi. Ia menyisahkan jejak yang datang kembali dalam ingatan
yang dingin dan sunyi. Ia adalah : Almira.
*
Almira duduk di atas pasir. Ia
memandangi goresan luka di langit yang memerah. Sementara angin berhembus
dingin dan membisikkan gundah gulana hatinya : cinta dan penyesalan.
Bram datang mendekat. Ia duduk di
samping Almira tanpa kata. Mengikuti pandangan matanya dengan sebersit tanya
yang tertahan. Diam bersama mentari yang meredup.
Almira menudukkan kepala, terisak-isak
dan menitikkan air mata. Gores luka menahannya untuk bercerita. Malu pada senja
yang lalu.
Bram menatap Almira penuh curiga.
Hembusan angin berbisik memaksa : tanya ia Bram.
“Kamu kenapa Almira?” tanya Bram
terdesak dan curiga.
Almira diam. Isak tangisnya mengeras.
“Kamu kenapa Almira?” Bram bingung, tidak
terdesak oleh angin, tapi curiga.
Almira tetap tertunduk dengan isak
tangis yang mulai menurun, dingin dan kaku.
“Kamu merindukannya Almira. Ia pasti
kembali. Ia hanya pergi untuk sementara. Ia sangat mencintaimu.” Bram mencoba
meyakinkan Almira.
Almira ingin bicara. Namun suaranya
tertahan di lidah. Ia ingin menjelaskan pada Bram : bukan itu Bram. Kamu tidak
mengerti!.
“Kenapa Almira? Apa kamu curiga dan
meragu? Ingat Almira, cinta adalah kesetiaan. Selama kesetiaan tergadaikan,
maka cinta telah digadaikan.” Bram menatap awan yang mulai menghitam, lalu
melanjutkan, “Aku percaya padanya. Ia mencintaimu, dan kamu mencintainya. Biarlah
waktu yang membuktikan cinta kalian. Sedangkan aku...” Bram diam, merunduk, menatap
bintang yang mulai muncul, “...Sedangkan aku hanya menunggu di sela-sela waktu.
Kamu paham itu Almira!.” Suara Bram mengeras. Ia kecewa, berdiri dan
meninggalkan Almira.
Bram berbalik menoleh ke arah Almira,
berteriak, “Aku mencintaimu Almira. Namun aku tak pernah memaksamu untuk
memilihku. Kamu telah memilihnya. Ingat Almira, cinta adalah kesetiaan.” Suara Bram
melengking, beradu dengan desau angin. “Ingat pesanku itu Almira!.” Bram menjauh,
pergi.
Almira menoleh ke arah Bram yang menjauh
di telan gelap. Angin mendesaknya : panggil ia kembali Almira. Katakan padanya!.
Almira bangkit, “Kamu tidak mengerti
Bram!” suaranya melengking.
Bram berhenti, berbalik, lalu berteriak,
“Apa yang tak aku mengerti Almira?.”
Almira berlari mendekati Bram, menghempaskan
tubuhnya, mendekapnya erat. Kepalanya disandarkan di bahu Bram, membasahinya
dengan tetes air mata. Ia tak berani bicara, hanya memeluk semakin erat.
Bram bingung. “Ada apa Almira?” tanyanya
berulang kali sambil mengelus kepala Almira dengan sopan.
Almira diam dan terus menangis.
“Ceritakan apa masalahmu Almira? Aku tak
akan pernah bisa mengerti tanpa pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!”
Bram mendesak.
“Aku tidak perawan lagi Bram!” Almira
memeluk Bram tambah erat.
Bram terdiam. Tangannya terhenti di
kepala Almira, tak mengelusnya kembali.
Almira semakin erat memeluk Bram. Sambil
terisak-isak, ia berbicara tersedu-sedu, “Aku perempuan hina Bram! Aku sudah
tidak perawan! Sesuci-sucinya perempuan, ialah ia yang mampu mempertahankan
keperawanannya!.” Almira menumpahkan nelangsanya.
“Apa arti perawan?” tanya Bram sambil
memandang rembulan.
Almira terkejut. Ia hancur dan tak
membutuhkan filosofi. “Apa maksudmu Bram?” mata Almira menatap Bram.
Pantulan kilau rembulan di atas air laut, hembusan angin yang bergerak bebas, dan
deburan ombak yang bersuara, memaksa, dan terus memaksa Bram, untuk menjadi
sesuatu, atau berbuat sesuatu, yang sebenarnya ia tak mengerti.
“Mari kita duduk Almira, menikmati keindahan
laut ini, dan mencoba menggali maknanya.” Bram dan Almira duduk di atas pasir,
melingkarkan tangan di lutut.
Bram menoleh ke samping, lalu berkata,
“Almira, coba lihat sampingmu?.
Almira menoleh. Kosong.
Apa kamu melihat sesuatu?.”
“Aku hanya melihat deburan ombak di atas
pasir, datang lalu pergi, dan begitu seterusnya.”
“Apa kamu tidak melihat sesuatu?”
Almira heran, dan menggeleng-gelengkan
kepala.
Bram menatap pasir dan ombak itu, dan berkata,
“Aku melihat jejak kaki di atas pasir itu. Jejak kaki yang selamanya ada, dan
akan tetap ada.” Bram menoleh ke depan, memandangi laut yang indah.
Almira menatap tajam Bram. Kemudian memandang
deburan ombak di atas pasir itu, tertunduk, sedih, bingung, dan kacau. Ia belum
mengerti.
Bram memahami kekosongan pandangan
Almira, ia melanjutkan, “Almira, keperawanan adalah pasir yang terinjak, dan meninggalkan
jejak, yang coba di hapus oleh deburan ombak yang datang silih berganti. Jika
ombak kecil yang datang, ia tidak menghapus jejak itu. Namun jika ombak besar
yang datang, ia bukan hanya menghapus jejak itu, namun menghancurkannya.” Bram
menoleh, dan memandang mata Almira. “Ingat Almira, selama masih ombak kecil
yang datang, kamu harus bertahan, tanpa keraguan. Namun jika ombak besar yang
datang, kamu tidak boleh bertahan, ia bukan hanya menghapus jejak itu, namun
telah menghancurkannya.” Mata Bram berkaca-kaca.
Almira memandangi laut yang indah, ragu,
namun telah mengerti. “Masih adakah yang menerimaku, jika ombak besar yang
datang menerpa pasir itu?”
Bram menatap Almira penuh keyakinan,
tajam. “Cinta adalah kesetiaan. Kesetiaan dibuktikan oleh waktu.” Bram
menggenggam jari lentik Almira, dan melanjutkan, “Waktu sangat menjijikkan,
namun cinta terus memaksa, untuk tetap setia pada waktu, yang ia sendiri tak
mengetahuinya.” Bram menggenggam jari lentik Almira semakin erat.
Almira memandang laut yang indah, tanpa
ragu, dan mengerti. “Aku mencintaimu Bram. Namun aku harus membuktikan
kesetiaan. Jika nanti ombak besar yang datang, aku harus pergi!” Almira
melepaskan jari lentiknya dari tangan Bram.
Bram tersenyum. Mereka duduk berdua
menikmati laut yang indah, tanpa kata-kata.
*
Ombak besar datang, sesaat setelah
kembalinya kekasih Almira ke pasir itu, yang ditemani isak tangis seorang bayi
mungil dalam pelukan ibunya. Kekasih Almira telah menikah.
Almira tidak kecewa, tidak sedih,
apalagi hancur. Ia mengerti, dan tak ingin berlindung kembali di bahu Bram
serta membasahinya dengan tetes air mata. Ia mencintainya, namun tak berhasrat
lagi untuk memilikinya. Baginya cinta, kesetiaan dan waktu adalah misteri yang
terdapat pada laut yang dalam dan dingin. Dan Almira memilih untuk hidup
didalamnya.
Bram
juga tidak kecewa, tidak sedih, apalagi hancur. Ia hanya teringat kembali pada pesan
terakhir Almira, ‘jika ombak besar datang menghampiri pasir itu, aku harus
pergi.’ Dan Almira telah memilih untuk pergi selama-lamanya. Ia membuktikan
cinta, kesetiaan dan waktu dengan caranya sendiri. Ia meninggalkan jejak dengan
penuh makna di atas pasir itu tentang arti cinta, kesetian dan waktu yakni :
keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar