Oleh : Dimas Agung Laksono
Foto/Ilustrasi : Liputan6.com
Siapa pun tak akan pernah tahu ke mana
nasib akan membawa kita pergi. Nasib, menurutku bukan bulat-bulat
digelindingkan Tuhan untuk kita telan utuh-utuh. Namun nasib akan mendatangi
kita sesuai dengan runutan kejadian atau peristiwa yang sudah pernah kita
perjuangkan sebelumnya. Kita lakukan yang terbaik, biarkan tangan Allah yang
menyeduh teh termanis untuk kita. Kapan, di mana dan dengan siapa, biarlah Dia
yang Maha Romantis itu akan meracikkannya khusus buatmu. Ya… buatmu.
Aku sendiri sulit membayangkan, bahwa
nasib kini telah membawaku terbang jauh dari negeriku. Mengemban tugas mulia
yang tidak mudah di pundakku. Yakni, mengajar anak-anak TKI di pedalaman
Malaysia Timur. Di mana pohon-pohon kelapa sawit yang merajai segala penjuru
menjadi taman bermain, pekarangan rumah bahkan tempat hiburan sekaligus.
Sungguh tidak mudah menghadapi anak-anak istimewa. Mereka lahir dari jiwa-jiwa
yang merasa terbuang dari negerinya sendiri. Orangtua-orangtua mereka pergi,
melarung nasib ke negeri orang. Sampai di negeri orang, legal tak legal tiada
beda, tak diacuhkan. Jangankan untuk memikirkan pendidikan anak-anak mereka,
memikirkan cara untuk mengisi perut saja sudah susah.
Begitulah adanya, tahun-tahun sebelumnya
malah lebih parah. Tak ada yang peduli dengan pendidikan anak-anak TKI itu.
Selain karena biaya sekolah yang mahal, juga lokasinya sangat jauh sekali dari
perkebunan sawit tempat para orang tua bekerja sebagai buruh pemetik sawit.
Masalah lainnya yang tak kalah pelik, kebanyakan dari para TKI itu adalah
illegal sehingga tidak punya dokumen resmi. Bagaimana anaknya akan memiliki
dokumen resmi semacam akta kelahiran yang menjadi syarat masuk sekolah,
sementara orang tuanya sendiri tak punya secarik dokumen resmi apa pun? Lagi
pula, sekolah adalah hal terlupakan dan mendapati nomor urut terbelakang dalam
daftar prioritas hidup para TKI di sana—seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa
cari makan saja susah. Jadilah, banyak anak-anak yang sama sekali tidak
mengenal apa itu sekolah, lalu ikut bekerja membantu orang tua mereka di
ladang.
Beberapa tahun belakangan, sebuah kabar
gembira datang untuk dunia pendidikan anak-anak TKI di Malaysia. Mampu
melarikkan senyum pada kegersangan wajah pendidikan di sana. Kabar itu bukan
datang dari Pemerintah Indonesia yang notabene secara undang-undang bertanggung
jawab atas pendidikan warga Negara Indonesia di mana pun berada. Tapi dari
sebuah negara bernama Denmark, yang sebenarnya, secara garis lurus tak ada
hubungan dan tanggung jawabnya dengan kemajuan pendidikan anak-anak TKI.
Maklumlah, mungkin negeriku masih terlalu sibuk mengurusi para koruptor dan
ujian nasional yang kontroversial itu. Humana
Child Aid Society, namanya, sebuah LSM kemanusiaan yang peduli akan nasib
pendidikan anak-anak pekerja asing yang tersebar di Malaysia. Mereka bukan
menangani anak-anak Indonesia saja, namun juga dari Philipina, Srilangka, dan
lainnya. Mereka membuat kelompok-kelompok belajar yang kini telah tersebar ke seluruh
distrik dan juga estates.
Setelahnya, keprihatinan kembali menyeruak
di benak Pemerintah Indonesia. Kelompok belajar yang menggunakan kurikulum
Malaysia itu memang membuat anak-anak TKI melek ilmu namun buta akan
pengetahuan mengenai tanah airnya sendiri. Jangan coba tanyakan pada mereka
lirik lagu Indonesia Raya atau siapa presiden Indonesia. They haven’t any idea. Maka dikirimlah skuad guru dari Indonesia
untuk diperbantukan ke daerah-daerah di semenanjung Malaysia Timur. Dua guru,
untuk setiap sekolah yang bersiswa kurang lebih ratusan orang, terkelompok dari
TK, SD dan SMP. Kenyataan ini menjadikan aku dan ratusan rekan-rekan guru dari
Indonesia lainnya, kini berada di sini, di hadapan murid-murid yang haus akan
ilmu dan pengetahuan. Bagaimana dua orang guru itu melayani hampir seratus
siswa di kelas yang berbeda? Jangan dibayangkan dulu. Sudah ada saja sekolah di
tempat terpencil nun jauh di tengah ladang sawit ini, itu sudah bagus.
Aku
sendiri ditempatkan di Humana 55 Tabin Estate di distrik Kinabatangan, lokasi
terjauh di wilayah Sabah. Beragam kisah tak henti-hentinya mengalir di sana,
menemani perjalananku yang sudah memasuki tahun kedua ini. Sedih mengatakan
ini, tapi memang sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini, karena memang
jatahku di sini hanya selama dua tahun. Tempat di mana aku merasa menjadi orang
yang memiliki manfaat berlebih pada kehidupan murid-muridku dibanding jika aku
mengajar di kota besar yang penuh dengan fasilitas belajar mengajar yang
lengkap, guru yang membanjir dan informasi yang tumpah ruah tanpa batas itu.
Sebagai guru yang menangani semua kelas,
tentu beragam perilaku siswa sudah kutemui. Banyak yang memiliki gairah belajar
yang tinggi, namun tak sedikit juga jumlahnya yang dalam kondisi sebaliknya.
Berbicara idealisme di sini? Kurasa jangan dulu. Contoh ringan saja, menerapkan
disiplin sungguh sulit. Apa yang akan aku lakukan, kalau banyak siswa yang
terlambat datang karena baru saja pulang membantu ayahnya mengutip buah sawit
di ladang yang nanti hasilnya untuk keluarga mereka makan? Lalu, jika aku ingin
menerapkan kerapian berseragam? Kurasa juga bukan saatnya, apa saja yang
penting berpakaian, silakan saja. Sudah mau datang, itulah poin utama. Belum
lagi untuk meningkatkan gairah belajar. Banyak yang tiba dalam kondisi tak
bersemangat—mungkin karena faktor sudah kelelahan bekerja—sehingga aku harus
meramu cara agar pembelajaran selalu menarik, mencari metode-metode bernas agar
tidak membuat mereka bosan. (Tidak membuat mereka tidur, lebih tepatnya)
Dari sekian banyak tingkah pola murid, aku
sungguh tak akan lupa pada salah satu murid istimewaku di Humana 55 ini. Ia
bernama Dirwan bin Sukardi. Saat aku tiba di sini, dia sudah duduk di kelas
tujuh SMP. Anak sulung dari keluarga Sukardi, pengutip buah sawit sisa panen
ini, menyimpan semangat yang meletup-letup di balik wajah letihnya. Di dalam
matanya, kutemukan bola api asa yang berkobar-kobar.
Untuk kelas SMP diselenggarakan siang
hari. Ketiga kelas itu, aku yang menangani seorang diri. Ya… pandai-pandai aku
sajalah membagi waktu untuk memberi pengajaran bagi anak-anakku tercinta,
tabungan masa depan bangsa ini. Sedikit kusesali, mengapa dulu aku tak mau
berlatih lompat jauh. Mungkin keahlian itu bisa kupakai di sini, agar bisa
dengan cepat dan efektif lompat dari satu kelas ke kelas lainnya.
Dirwan, acap kali hadir dengan peluh
membasahi baju lusuhnya. Seringnya bercelana pendek dan berkaos oblong beraroma
matahari campur keringat. Ia selalu datang sambil tersenyum dan mengambil duduk
dengan takzim. Seolah semua terjadi dengan wajar, meski ia hadir satu jam
setelah bel masuk berbunyi. Meski aku sedang sibuk menerangkan di depan kelas.
Pertama kali kami bertemu ia datang tergopoh-gopoh, memasuki kelas yang sudah
dimulai beberapa menit yang lalu. Ia mengatur napasnya yang memburu dalam
balutan celana pendek lusuh dan kaos kuning yang bernomor punggung 12 dengan
barisan huruf D, I, R, W, A, dan N melengkung di atasnya.
“Maaf, Cikgu saya
lambat datang,” ucapnya ngos-ngosan hingga terbungkuk-bungkuk
seperti ayam kejang. “Banyak buah tadi, jadi lambat sikiiit…,” tambahnya, dilanjutkan dengan tarikan napas panjang dan terus
memandangiku, masih dengan senyumnya. Hatiku bagai diiris kecil-kecil lalu
ditumis bersama bumbu-bumbu, masih belia namun penuh tanggung jawab pada pekerjaannya.
Aku lantas mempersilakannya
duduk, kupandangi punggung kurus itu. Sedari pagi ia membantu ayahnya mengutipi
buah sawit yang terjatuh tatkala ada panen sawit. Sawit-sawit itu akan dijual
lagi, uangnya bisa untuk penyambung hidup keluarga Sukardi. Ayah, ibunya, dan
ketiga adiknya. Miris.
Dirwan,
terlambat bersekolah. Maksudku, bukan hanya suka terlambat datang ke sekolah.
Dia memang terlambat masuk sekolah. Saat dia mencapai umur siap untuk sekolah,
belum ada sekolah yang bisa menampung anak TKI tak berakta kelahiran
sepertinya. Andaikan ada, orang tuanya tak akan sanggup membiayainya bersekolah
di Sekolah milik Malaysia, lagi pun jauh pula dari rumah. Saat usia tiga belas
tahun, Dirwan mengikuti ujian paket A untuk mengejar ketertinggalan. Diwan
lulus dan boleh melanjutkan jenjang SMP. Dirwan kurang cakap dalam pelajaran
yang mengandung logika semacam Matematika, Fisika atau ilmu pasti lainnya.
Pokoknya jangan suruh ia menghitung. Seharian tak akan siap. Sekalipun siap,
sudah bisa dipastikan salah semua.
Yang lebih parah, walaupun
Dirwan sudah pandai membaca dan menulis, namun kemampuannya menyusun kata untuk
keperluan berbicara kacau balau. Apalagi dalam kondisi di tengah orang banyak,
akan terbolak-balik lah kata-kata yang diucapkannya itu. Misalnya saat bertanya
hari, ia akan mengatakannya seperti ini,
“Eh… hari berapa ini?” atau
“Jam apa ini?”
Lalu suruhlah ia menulis kata ‘makan’ pasti akan
ditulis menjadi ‘makang’. Entah apa yang mempengaruhi rendahnya kemampuannya
berbahasa itu. Entah ada masalah secara psikologis atau mungkin latar belakang
lingkungan keluarganya.
Tapi jangan salah, Tuan dan Nyonya akan
dibuatnya tercengang jika mengetahui bakat khusus nan luar biasa yang
terpendam dalam dirinya. Sebuah permata yang berkilau tersembunyi di balik wajah lugu dan mata syahdunya
itu. Bakat itu pun kami
temukan secara tak sengaja. Waktu itu, tiba seleksi peserta yang akan mewakili
SMP T Tomanggong untuk mengikuti lomba tahunan
terbesar antar SMP T se-Sabah yang
biasanya diadakan di kota Kinabalu
ibukota Sabah. Aku sebagai guru di TKB Tabin
tidak berharap banyak anak-anakku akan menang. Aku hanya
berharap anak-anakku bisa mendapat pengalaman baru dengan pergi dan mencoba
bersaing dengan anak-anak dari TKB lain di bawah
naungan SMP T Tomanggong ini.
Dan
kejutan itu pun tiba, kalian tahu siapa
yang ternyata sukses terpilih mewakili SMP Tomanggong di salah satu cabang perlombaan APKRES yaitu melukis? Dirwan! Ya Dirwan. Aku tidak
menyangka ia berhasil menjawab tantangan dari
pengelola SMPT.
Ia berhasil melukis satu gambar apel
dengan sempurna. Garis-garis gambar itu, gradasi
warnanya sempurna tidak ada peserta lain yang berhasil menyamai bahkan
mendekati hasil lukisan Dirwan. Dirwan menyimpan jiwa seni di dirinya,
kemampuan yang selama ini aku tidak pernah lihat darinya.
Keajaiban-keajaiban
ini tidak berhenti di sini saja.
Tiba masa karantina saat dua puluh murid-murid dari empat TKB dikumpulkan di Tomanggong Estate. Di sana para murid, digojlok fisiknya, mentalnya dan diasah lagi
kemampuannya agar bisa mempertahankan gelar juara umun APKRES yang pertama dan kedua.
Bisa kalian bayangkan, bukan
betapa tantangan ini sangat luar biasa bagi kami guru-guru dan juga murid-murid
tercinta kami?
PBB
atau baris berbaris termasuk salah satu cabang yang bergengsi di APKRES ini. Diperlukan sepuluh siswa dan siswi untuk kami bentuk satu regu PBB. Kembali, tanpa diduga, Dirwan yang pertama mengajukan diri untuk
siap mengikuti seleksi lagi sebagai anggota PBB di antara siswa lain yang masih malu-malu. Sungguh, semangat yang sangat luar biasa dari muridku ini, ditunjukkan berkali-kali padaku. Hingga aku semacam kena serangan tembak yang bertubi-tubi. Sudah
kukatakan, kan sebelumnya Dirwan itu seperti apa?
“Kamu yakin, Wan?
Latihannya berat, loh…,” kataku mengingatkan. “Lagian kamu kan udah terpilih buat mewakili
lomba lukis,” tambahku.
“Yaking,
Pak!” balasnya dengan logat Bugis yang kental tanpa keraguan sedikit pun. Seolah mati pun rela.
Aku berpikir sebentar, tak hendak memupuskan harapannya. “Ya, sudah… asal kamu serius latihannya dan jangan suka mengeluh, ya,” tukasku lembut kepada
murid istimewaku ini.
“Emang kenapa, sih kok kamu niat banget ikut APKRES ini, Wan?” lanjutku lagi setelah jeda yang
cukup panjang.
“
Ehhh… anu,
Pak… saya mau pegi Bandar Bah, tak
pernah saya keluar,
Pak dari Estate ini.
Sekalinya saya ke Bandar itu pas saya
lahir saja, hehehe, ” ucapnya
lirih sambil cengengesan malu-malu. “Ditambah
saya mau buat Bapak saya
bangga, Pak… kalau
saya bisa juara melukis dan PBB time di KK nanti,” lanjutnya terbata. Aku
ingat dengan jelas kata-katanya itu.
Pria ceking berjiwa besar ini ingin
melihat dunia.
Selaian itu, rasa bangga, sesuatu yang
sangat mewah bagi keluarganya. Dan Dirwan, ingin mempersembahkan kemewahan itu
kepada bapaknya dengan cara yang menurut kebanyakan orang, sangat sepele. Subhanallah….
Satu bulan sebelum keberangkatan kami ke Kinabalu, Dirwan
menemuiku di belakang rumah tinggalku.
Rumah yang disediakan oleh perusahaan
kebun sawit.
“Pak….” Dengan suara lirih ia memanggilku.
“Ya,
Wan… kenapa?” balasku.
“Ehmmm….” Ia tampak resah. Sempat terdiam namun
kemudian berujar dengan banyak kata ‘Pak’ dalam kalimatnya. Mungkin karena
gugup atau bisa jadi karena rasa hormatnya padaku. “Pak, macam mana, ya Pak…. Saya dan keluarga mau balik ke Makassar, Pak. Bapak saya tidak mau
bekerja lagi di ladang sawit.”
Aku terkejut mendengar pernyataan Dirwan ini. Di satu sisi aku senang karena Dirwan akan kembali ke tanah air, ke kampungnya di Makassar. Tapi aku juga tahu, sama sepertiku, dia juga pasti kecewa. Masih ada tugas yang belum selesai di Sabah ini. Dirwan belum ke KK, Dirwan belum membuktikan pada dunia bahwa ada maestro lukis dari
sudut terpencil ladang sawit Tabin ini. Dan ia juga
belum menunjukkan pada ibu bapaknya hasil latihan baris-bebarisnya, ketegasan
jalannya dan gelegar suaranya yang meneriakkan perintah hormat. Sungguh, lebih tegas dari pada polisi-polisi korup di Indonesia, kupikir. Aku tau ia sudah sangat bekerja keras untuk pencapaian ini. Ia
tutupi kelemahannya yang lambat memahami instruksi dari kami guru-gurunya
dengan latihan dua kali lipat lebih keras dari kawan-kawanya.
Dalam kondisi ini, aku harus berpikir
cepat. Mencarikan solusi yang terbaik. Di lapangan, guru tak lagi hanya sekedar
orang yang mentransfer ilmu dari otak sendiri ke otak orang lain. Guru lebih
dari itu. Salah satu tugasnya yang berat, tetap berusaha menjaga api semangat
dan harapan dalam diri murid, meski satu dunia berlomba-lomba untuk menyiramnya
dengan air es. “Hmmm… nanti Bapak coba
bicara dengan orang tua kamu dan pak Nuh, ya,” jawabku sambil menyebutkan nama Pak Nuh, pengelola SMP T Tomanggong.
Kucoba tutupi ketidakyakinan dalam diriku.
Ya, orangtuanya lebih berhak atas dirinya ketimbang kami-kami ini. Dan pastinya
bapaknya tentu punya alasan yang cukup kuat mengapa mereka harus kembali ke
tanah air.
“Macam mana, Pak?” tanya Dirwan setelah ia mengetahui aku telah
bertemu dengan bapaknya.
Aku menghela napas agak berat. “Dirwan… saya sudah bilang ke bapak kamu. Seandainya
kamu balik ke Indonesia,
Pak minta pada orangtuamu agar kamu tetap lanjut sekolah terus. Orangtua
kamu sudah tidak bisa lagi menunda-nunda kepulangan ini, jadi sepertinya memang
kamu bakalan gak bisa ikut APKRES” jelasku
padanya. Matanya kehilangan
binar. ”APKRES bukan segalanya,
Wan.” Aku melanjutkan. “Kau katanya ingin melihat kota besar, kan? Makassar
juga jaaauh lebih besar daripada KK, Makassar
itu kota terbesar di wilayah timur Indonesia. Kamu bakal
mendapat guru-guru yang lebih hebat dari kami. Akan ada ekstrakurikuler pramuka yang lebih
intens di sana, di mana kamu bisa terus latihan
baris-berbaris.” Aku mencoba
menenangkan kegalauan hatinya, memompa kembali semangatnya yang mengendur.
Ia terdiam, tapi tak lama dan kemudian
buka suara. ”Oke lah
kalau begitu,
Pak.” jawabnya dengan wajah
yang tak bisa kudefenisikan. Datar. Menurutku penuh misteri.
Jadi
begitulah cerita tentang Dirwan. Dirwan yang tak sempat menunjukkan bakatnya. Tapi, apakah cerita Dirwan terhenti begini saja? Sekali lagi, Kawan, kita memang tidak akan pernah tahu apa
rencana Tuhan. Kita memang
tidak akan tahu ke mana nasib membawa kita lagi. Saat aku kembali melanjutkan menulis cerita
ini, aku sudah lima tahun berada di Sabah. Ya, melebihi batas dua tahun kontrakku. Tuhan
melalui tangan Kementrian Pendidikan—sekali lagi membuktikan DIA punya
rencana—‘menghadiahi’ kami perpanjangan kontrak tambahan selama tiga tahun
lagi. Bagiku itu luar biasa!!!
Lalu
bagaimana dengan Dirwan? Ke mana Allah membawa
nasibnya kini? Sekolah Kejuruan
Komputer, Kawan. Ia berhasil masuk ke SMK Negeri, jurusan komputer pula. Sesuatu yang
sebelumnya bagai alien baginya.
“Pak, tau HTML, nggak?” Pernah dia berkomunikasi denganku lewat Facebok suatu waktu. Saat aku mengetikkan “tidak” di keyboard smartphone-ku dan ku-send
ke dia, aku sadar aku menangis, aku tidak pernah menyangka Dirwan bisa
melangkah sejauh ini.
Ada satu cerita lagi yang begitu
membanggakan selain itu. Tepat di saat ia tiba di tanah air, Indonesia. Saat itu dia sudah kelas 3 SMP, di sana ia
berhasil diterima di SMP N 3, lewat fasilitas pesan di Facebook, ia
memberitahuku bahwa dirinya berhasil terpilih menjadi PINRU, ya pemimpin regu
pramuka di sekolahnya. Hal yang
bahkan tidak pernah aku alami dulu.
Dan secara regular ia juga terpilih
menjadi anggota pengibar bendera saat
upacara di sekolahnya yang
baru.
Bisa kubayangkan binar di matanya jika ia
menyampaikan itu secara langsung. Entah bagaimana, bunga-bunga bermekaran di
hatiku saat itu. Sama mekarnya, mungkin, dengan hati bapaknya.
Dirwan
sudah menjawab semua.
Dengan bermodalkan semangat, kita
semua bisa melangkah jauh melebihi apa yang bisa kita bayangkan. Sekarang, aku tinggal menunggu saja ke mana kali ini sang Maha Romantis, Allah SWT akan
membawa nasibku dan ‘dirwan-dirwan’ yang lain. Yakinlah, Kawan… Allah
Punya rencana untuk kita semua..
Penulis adalah tenaga pendidik di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat.
Pernah menjadi tenaga pendidik bagi anak TKI di Sabah, Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar