Dirwan : Perjuangan Pendidikan Anak Bugis di Malaysia Timur - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Senin, 20 November 2017

Dirwan : Perjuangan Pendidikan Anak Bugis di Malaysia Timur



Oleh : Dimas Agung Laksono
 Foto/Ilustrasi : Liputan6.com 
Siapa pun tak akan pernah tahu ke mana nasib akan membawa kita pergi. Nasib, menurutku bukan bulat-bulat digelindingkan Tuhan untuk kita telan utuh-utuh. Namun nasib akan mendatangi kita sesuai dengan runutan kejadian atau peristiwa yang sudah pernah kita perjuangkan sebelumnya. Kita lakukan yang terbaik, biarkan tangan Allah yang menyeduh teh termanis untuk kita. Kapan, di mana dan dengan siapa, biarlah Dia yang Maha Romantis itu akan meracikkannya khusus buatmu. Ya… buatmu.

Aku sendiri sulit membayangkan, bahwa nasib kini telah membawaku terbang jauh dari negeriku. Mengemban tugas mulia yang tidak mudah di pundakku. Yakni, mengajar anak-anak TKI di pedalaman Malaysia Timur. Di mana pohon-pohon kelapa sawit yang merajai segala penjuru menjadi taman bermain, pekarangan rumah bahkan tempat hiburan sekaligus. Sungguh tidak mudah menghadapi anak-anak istimewa. Mereka lahir dari jiwa-jiwa yang merasa terbuang dari negerinya sendiri. Orangtua-orangtua mereka pergi, melarung nasib ke negeri orang. Sampai di negeri orang, legal tak legal tiada beda, tak diacuhkan. Jangankan untuk memikirkan pendidikan anak-anak mereka, memikirkan cara untuk mengisi perut saja sudah susah.

Begitulah adanya, tahun-tahun sebelumnya malah lebih parah. Tak ada yang peduli dengan pendidikan anak-anak TKI itu. Selain karena biaya sekolah yang mahal, juga lokasinya sangat jauh sekali dari perkebunan sawit tempat para orang tua bekerja sebagai buruh pemetik sawit. Masalah lainnya yang tak kalah pelik, kebanyakan dari para TKI itu adalah illegal sehingga tidak punya dokumen resmi. Bagaimana anaknya akan memiliki dokumen resmi semacam akta kelahiran yang menjadi syarat masuk sekolah, sementara orang tuanya sendiri tak punya secarik dokumen resmi apa pun? Lagi pula, sekolah adalah hal terlupakan dan mendapati nomor urut terbelakang dalam daftar prioritas hidup para TKI di sana—seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa cari makan saja susah. Jadilah, banyak anak-anak yang sama sekali tidak mengenal apa itu sekolah, lalu ikut bekerja membantu orang tua mereka di ladang.

Beberapa tahun belakangan, sebuah kabar gembira datang untuk dunia pendidikan anak-anak TKI di Malaysia. Mampu melarikkan senyum pada kegersangan wajah pendidikan di sana. Kabar itu bukan datang dari Pemerintah Indonesia yang notabene secara undang-undang bertanggung jawab atas pendidikan warga Negara Indonesia di mana pun berada. Tapi dari sebuah negara bernama Denmark, yang sebenarnya, secara garis lurus tak ada hubungan dan tanggung jawabnya dengan kemajuan pendidikan anak-anak TKI. Maklumlah, mungkin negeriku masih terlalu sibuk mengurusi para koruptor dan ujian nasional yang kontroversial itu. Humana Child Aid Society, namanya, sebuah LSM kemanusiaan yang peduli akan nasib pendidikan anak-anak pekerja asing yang tersebar di Malaysia. Mereka bukan menangani anak-anak Indonesia saja, namun juga dari Philipina, Srilangka, dan lainnya. Mereka membuat kelompok-kelompok belajar yang kini telah tersebar ke seluruh distrik dan juga estates.

Setelahnya, keprihatinan kembali menyeruak di benak Pemerintah Indonesia. Kelompok belajar yang menggunakan kurikulum Malaysia itu memang membuat anak-anak TKI melek ilmu namun buta akan pengetahuan mengenai tanah airnya sendiri. Jangan coba tanyakan pada mereka lirik lagu Indonesia Raya atau siapa presiden Indonesia. They haven’t any idea. Maka dikirimlah skuad guru dari Indonesia untuk diperbantukan ke daerah-daerah di semenanjung Malaysia Timur. Dua guru, untuk setiap sekolah yang bersiswa kurang lebih ratusan orang, terkelompok dari TK, SD dan SMP. Kenyataan ini menjadikan aku dan ratusan rekan-rekan guru dari Indonesia lainnya, kini berada di sini, di hadapan murid-murid yang haus akan ilmu dan pengetahuan. Bagaimana dua orang guru itu melayani hampir seratus siswa di kelas yang berbeda? Jangan dibayangkan dulu. Sudah ada saja sekolah di tempat terpencil nun jauh di tengah ladang sawit ini, itu sudah bagus.

 Aku sendiri ditempatkan di Humana 55 Tabin Estate di distrik Kinabatangan, lokasi terjauh di wilayah Sabah. Beragam kisah tak henti-hentinya mengalir di sana, menemani perjalananku yang sudah memasuki tahun kedua ini. Sedih mengatakan ini, tapi memang sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini, karena memang jatahku di sini hanya selama dua tahun. Tempat di mana aku merasa menjadi orang yang memiliki manfaat berlebih pada kehidupan murid-muridku dibanding jika aku mengajar di kota besar yang penuh dengan fasilitas belajar mengajar yang lengkap, guru yang membanjir dan informasi yang tumpah ruah tanpa batas itu.

Sebagai guru yang menangani semua kelas, tentu beragam perilaku siswa sudah kutemui. Banyak yang memiliki gairah belajar yang tinggi, namun tak sedikit juga jumlahnya yang dalam kondisi sebaliknya. Berbicara idealisme di sini? Kurasa jangan dulu. Contoh ringan saja, menerapkan disiplin sungguh sulit. Apa yang akan aku lakukan, kalau banyak siswa yang terlambat datang karena baru saja pulang membantu ayahnya mengutip buah sawit di ladang yang nanti hasilnya untuk keluarga mereka makan? Lalu, jika aku ingin menerapkan kerapian berseragam? Kurasa juga bukan saatnya, apa saja yang penting berpakaian, silakan saja. Sudah mau datang, itulah poin utama. Belum lagi untuk meningkatkan gairah belajar. Banyak yang tiba dalam kondisi tak bersemangat—mungkin karena faktor sudah kelelahan bekerja—sehingga aku harus meramu cara agar pembelajaran selalu menarik, mencari metode-metode bernas agar tidak membuat mereka bosan. (Tidak membuat mereka tidur, lebih tepatnya) 

Dari sekian banyak tingkah pola murid, aku sungguh tak akan lupa pada salah satu murid istimewaku di Humana 55 ini. Ia bernama Dirwan bin Sukardi. Saat aku tiba di sini, dia sudah duduk di kelas tujuh SMP. Anak sulung dari keluarga Sukardi, pengutip buah sawit sisa panen ini, menyimpan semangat yang meletup-letup di balik wajah letihnya. Di dalam matanya, kutemukan bola api asa yang berkobar-kobar. 

Untuk kelas SMP diselenggarakan siang hari. Ketiga kelas itu, aku yang menangani seorang diri. Ya… pandai-pandai aku sajalah membagi waktu untuk memberi pengajaran bagi anak-anakku tercinta, tabungan masa depan bangsa ini. Sedikit kusesali, mengapa dulu aku tak mau berlatih lompat jauh. Mungkin keahlian itu bisa kupakai di sini, agar bisa dengan cepat dan efektif lompat dari satu kelas ke kelas lainnya. 

Dirwan, acap kali hadir dengan peluh membasahi baju lusuhnya. Seringnya bercelana pendek dan berkaos oblong beraroma matahari campur keringat. Ia selalu datang sambil tersenyum dan mengambil duduk dengan takzim. Seolah semua terjadi dengan wajar, meski ia hadir satu jam setelah bel masuk berbunyi. Meski aku sedang sibuk menerangkan di depan kelas. Pertama kali kami bertemu ia datang tergopoh-gopoh, memasuki kelas yang sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Ia mengatur napasnya yang memburu dalam balutan celana pendek lusuh dan kaos kuning yang bernomor punggung 12 dengan barisan huruf D, I, R, W, A, dan N melengkung di atasnya.

Maaf, Cikgu saya lambat datang,” ucapnya ngos-ngosan hingga terbungkuk-bungkuk seperti ayam kejang. “Banyak buah tadi, jadi lambat sikiiit…,” tambahnya, dilanjutkan dengan tarikan napas panjang dan terus memandangiku, masih dengan senyumnya. Hatiku bagai diiris kecil-kecil lalu ditumis bersama bumbu-bumbu, masih belia namun penuh tanggung jawab pada pekerjaannya.

Aku lantas mempersilakannya duduk, kupandangi punggung kurus itu. Sedari pagi ia membantu ayahnya mengutipi buah sawit yang terjatuh tatkala ada panen sawit. Sawit-sawit itu akan dijual lagi, uangnya bisa untuk penyambung hidup keluarga Sukardi. Ayah, ibunya, dan ketiga adiknya. Miris.

                Dirwan, terlambat bersekolah. Maksudku, bukan hanya suka terlambat datang ke sekolah. Dia memang terlambat masuk sekolah. Saat dia mencapai umur siap untuk sekolah, belum ada sekolah yang bisa menampung anak TKI tak berakta kelahiran sepertinya. Andaikan ada, orang tuanya tak akan sanggup membiayainya bersekolah di Sekolah milik Malaysia, lagi pun jauh pula dari rumah. Saat usia tiga belas tahun, Dirwan mengikuti ujian paket A untuk mengejar ketertinggalan. Diwan lulus dan boleh melanjutkan jenjang SMP. Dirwan kurang cakap dalam pelajaran yang mengandung logika semacam Matematika, Fisika atau ilmu pasti lainnya. Pokoknya jangan suruh ia menghitung. Seharian tak akan siap. Sekalipun siap, sudah bisa dipastikan salah semua.

Yang lebih parah, walaupun Dirwan sudah pandai membaca dan menulis, namun kemampuannya menyusun kata untuk keperluan berbicara kacau balau. Apalagi dalam kondisi di tengah orang banyak, akan terbolak-balik lah kata-kata yang diucapkannya itu. Misalnya saat bertanya hari, ia akan mengatakannya seperti ini,

“Eh… hari berapa ini?” atau “Jam apa ini?”

Lalu suruhlah ia menulis kata ‘makan’ pasti akan ditulis menjadi ‘makang’. Entah apa yang mempengaruhi rendahnya kemampuannya berbahasa itu. Entah ada masalah secara psikologis atau mungkin latar belakang lingkungan keluarganya.

Tapi jangan salah, Tuan dan Nyonya akan dibuatnya tercengang jika mengetahui bakat khusus nan luar biasa yang terpendam dalam dirinya. Sebuah permata yang berkilau tersembunyi di balik wajah lugu dan mata syahdunya itu. Bakat itu pun kami temukan secara tak sengaja. Waktu itu, tiba seleksi peserta yang akan mewakili SMP T Tomanggong untuk mengikuti lomba tahunan terbesar antar SMP T se-Sabah yang biasanya diadakan di kota Kinabalu ibukota Sabah. Aku sebagai guru di TKB Tabin tidak berharap banyak anak-anakku akan menang. Aku hanya berharap anak-anakku bisa mendapat pengalaman baru dengan pergi dan mencoba bersaing dengan anak-anak dari TKB lain di bawah naungan SMP T Tomanggong ini.

Dan kejutan itu pun tiba, kalian tahu siapa yang ternyata sukses terpilih mewakili SMP Tomanggong di salah satu cabang perlombaan APKRES yaitu melukis? Dirwan! Ya Dirwan. Aku tidak menyangka ia berhasil menjawab tantangan dari pengelola SMPT. Ia berhasil melukis satu gambar apel dengan sempurna. Garis-garis gambar itu, gradasi warnanya sempurna tidak ada peserta lain yang berhasil menyamai bahkan mendekati hasil lukisan Dirwan. Dirwan menyimpan jiwa seni di dirinya, kemampuan yang selama ini aku tidak pernah lihat darinya.

Keajaiban-keajaiban ini tidak berhenti di sini saja. Tiba masa karantina saat dua puluh murid-murid dari empat TKB dikumpulkan di Tomanggong Estate. Di sana para murid, digojlok fisiknya, mentalnya dan diasah lagi kemampuannya agar bisa mempertahankan gelar juara umun APKRES yang  pertama dan kedua. Bisa kalian bayangkan, bukan betapa tantangan ini sangat luar biasa bagi kami guru-guru dan juga murid-murid tercinta kami?

PBB atau baris berbaris termasuk salah satu cabang yang bergengsi di APKRES ini. Diperlukan sepuluh siswa dan siswi untuk kami bentuk satu regu PBB. Kembali, tanpa diduga, Dirwan yang pertama mengajukan diri untuk siap mengikuti seleksi lagi sebagai anggota PBB di antara siswa lain yang masih malu-malu. Sungguh, semangat yang sangat luar biasa dari muridku ini, ditunjukkan berkali-kali padaku. Hingga aku semacam kena serangan tembak yang bertubi-tubi. Sudah kukatakan, kan sebelumnya Dirwan itu seperti apa?

Kamu yakin, Wan? Latihannya berat, loh…,kataku mengingatkan. “Lagian kamu kan udah terpilih buat mewakili lomba lukis, tambahku

Yaking, Pak!” balasnya dengan logat Bugis yang kental tanpa keraguan sedikit pun. Seolah mati pun rela.

 Aku berpikir sebentar, tak hendak memupuskan harapannya. Ya, sudah… asal kamu serius latihannya dan jangan suka mengeluh, ya,tukasku lembut kepada murid istimewaku ini.

Emang kenapa, sih kok kamu niat banget ikut APKRES ini, Wan?”  lanjutku lagi setelah jeda yang cukup panjang.

Ehhh anu, Pak saya mau pegi Bandar Bah, tak pernah saya keluar, Pak dari Estate ini. Sekalinya saya ke Bandar itu pas saya lahir saja, hehehe, ” ucapnya lirih sambil cengengesan malu-malu. Ditambah saya mau buat Bapak saya bangga, Pak kalau saya bisa juara melukis dan PBB time di KK nanti, lanjutnya terbata. Aku ingat dengan jelas kata-katanya itu. Pria ceking berjiwa besar ini ingin melihat dunia. Selaian itu, rasa bangga, sesuatu yang sangat mewah bagi keluarganya. Dan Dirwan, ingin mempersembahkan kemewahan itu kepada bapaknya dengan cara yang menurut kebanyakan orang, sangat sepele. Subhanallah….

Satu bulan sebelum keberangkatan kami ke Kinabalu, Dirwan menemuiku di belakang rumah tinggalku. Rumah yang disediakan oleh perusahaan kebun sawit.
Pak….Dengan suara lirih ia memanggilku.

Ya, Wan kenapa?” balasku.

Ehmmm….” Ia tampak resah. Sempat terdiam namun kemudian berujar dengan banyak kata ‘Pak’ dalam kalimatnya. Mungkin karena gugup atau bisa jadi karena rasa hormatnya padaku. “Pak, macam mana, ya Pak…. Saya dan keluarga mau balik ke Makassar, Pak. Bapak saya tidak mau bekerja lagi di ladang sawit.” 

Aku terkejut mendengar pernyataan Dirwan ini. Di satu sisi aku senang karena Dirwan akan kembali ke tanah air, ke kampungnya di Makassar. Tapi aku juga tahu, sama sepertiku, dia juga pasti kecewa. Masih ada tugas yang belum selesai di Sabah ini. Dirwan belum ke KK, Dirwan belum membuktikan pada dunia bahwa ada maestro lukis dari sudut terpencil ladang sawit Tabin ini. Dan ia juga belum menunjukkan pada ibu bapaknya hasil latihan baris-bebarisnya, ketegasan jalannya dan gelegar suaranya yang meneriakkan perintah hormat. Sungguh, lebih tegas dari pada polisi-polisi korup di Indonesia, kupikir. Aku tau ia sudah sangat bekerja keras untuk pencapaian ini. Ia tutupi kelemahannya yang lambat memahami instruksi dari kami guru-gurunya dengan latihan dua kali lipat lebih keras dari kawan-kawanya.

Dalam kondisi ini, aku harus berpikir cepat. Mencarikan solusi yang terbaik. Di lapangan, guru tak lagi hanya sekedar orang yang mentransfer ilmu dari otak sendiri ke otak orang lain. Guru lebih dari itu. Salah satu tugasnya yang berat, tetap berusaha menjaga api semangat dan harapan dalam diri murid, meski satu dunia berlomba-lomba untuk menyiramnya dengan air es. Hmmm… nanti Bapak coba bicara dengan orang tua kamu dan pak Nuh, ya,”  jawabku sambil menyebutkan nama Pak Nuh, pengelola SMP T Tomanggong. Kucoba tutupi ketidakyakinan dalam diriku. Ya, orangtuanya lebih berhak atas dirinya ketimbang kami-kami ini. Dan pastinya bapaknya tentu punya alasan yang cukup kuat mengapa mereka harus kembali ke tanah air.

Macam mana, Pak?” tanya Dirwan setelah ia mengetahui aku telah bertemu dengan bapaknya.

Aku menghela napas agak berat. “Dirwan saya sudah bilang ke bapak kamu. Seandainya kamu balik ke Indonesia, Pak minta pada orangtuamu agar kamu tetap lanjut sekolah terus. Orangtua kamu sudah tidak bisa lagi menunda-nunda kepulangan ini, jadi sepertinya memang kamu bakalan gak bisa ikut APKRES” jelasku  padanya. Matanya kehilangan binar. ”APKRES bukan segalanya, Wan.” Aku melanjutkan. “Kau katanya ingin melihat kota besar, kan? Makassar juga jaaauh lebih besar daripada KK, Makassar itu kota terbesar di wilayah timur Indonesia. Kamu bakal mendapat guru-guru yang lebih hebat dari kami. Akan ada ekstrakurikuler pramuka yang lebih intens di sana, di mana kamu bisa terus latihan baris-berbaris. Aku mencoba menenangkan kegalauan hatinya, memompa kembali semangatnya yang mengendur.
 
Ia terdiam, tapi tak lama dan kemudian buka suara. Oke lah kalau begitu, Pak.” jawabnya dengan wajah yang tak bisa kudefenisikan. Datar. Menurutku penuh misteri.

Jadi begitulah cerita tentang Dirwan. Dirwan yang tak sempat menunjukkan bakatnya. Tapi, apakah cerita Dirwan terhenti begini saja? Sekali lagi, Kawan, kita memang tidak akan pernah tahu apa rencana Tuhan. Kita memang tidak akan tahu ke mana nasib membawa kita lagi. Saat aku kembali melanjutkan menulis cerita ini, aku sudah lima tahun berada di Sabah. Ya, melebihi batas dua tahun kontrakku. Tuhan melalui tangan Kementrian Pendidikan—sekali lagi membuktikan DIA punya rencana—‘menghadiahi’ kami perpanjangan kontrak tambahan selama tiga tahun lagi. Bagiku itu luar biasa!!!
 
Lalu bagaimana dengan Dirwan? Ke mana Allah membawa nasibnya kini? Sekolah Kejuruan Komputer, Kawan. Ia berhasil masuk ke SMK Negeri, jurusan komputer pula. Sesuatu yang sebelumnya bagai alien baginya. 

Pak, tau HTML, nggak?Pernah dia berkomunikasi denganku lewat Facebok suatu waktu. Saat aku mengetikkan “tidak” di keyboard smartphone-ku dan ku-send ke dia, aku sadar aku menangis, aku tidak pernah menyangka Dirwan bisa melangkah sejauh ini.

Ada satu cerita lagi yang begitu membanggakan selain itu. Tepat di saat ia tiba di tanah air, Indonesia. Saat itu dia sudah kelas 3 SMP, di sana ia berhasil diterima di SMP N 3, lewat fasilitas pesan di Facebook, ia memberitahuku bahwa dirinya berhasil terpilih menjadi PINRU, ya pemimpin regu pramuka di sekolahnya. Hal yang bahkan tidak pernah aku alami dulu. Dan secara regular ia juga terpilih menjadi anggota pengibar bendera saat  upacara di sekolahnya yang baru. Bisa kubayangkan binar di matanya jika ia menyampaikan itu secara langsung. Entah bagaimana, bunga-bunga bermekaran di hatiku saat itu. Sama mekarnya, mungkin, dengan hati bapaknya.

Dirwan sudah menjawab semua. Dengan bermodalkan semangat, kita semua bisa melangkah jauh melebihi apa yang bisa kita bayangkan. Sekarang, aku tinggal menunggu saja ke mana kali ini sang Maha Romantis, Allah SWT akan membawa nasibku dan ‘dirwan-dirwan yang lain. Yakinlah, Kawan Allah Punya rencana untuk kita semua..

Penulis adalah tenaga pendidik di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat.
Pernah menjadi tenaga pendidik bagi anak TKI di Sabah, Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar