Rindu Pahlawan - SIMTASA

Osis Yapim Taruna Stabat

Breaking

Home Top Ad

ADS

Jumat, 17 November 2017

Rindu Pahlawan

Oleh : Agus Andreas Tampubolon[1]

Foto Tugu Proklamasi : Internet
 
Kita bisa saja menyematkan kata “pahlawan” pada waktu dan tempat tertentu secara sembarangan. Seperti ketika kita menyaksikan seorang pemuda mati dalam huru-hara demonstrasi yang tumpah, dan lekas menyatakan, “Dia adalah pahlawan demokrasi.” Padahal bisa jadi pemuda itu hanya “sekedar lewat” dan tanpa di duga mati tertembus bedil.

Kita bisa saja menyematkan kata “pahlawan”, pada seorang yang kaya raya karena memberikan sejumlah uang pada kaum papa, dan menyatakan, “Dia adalah pahlawan hidupku : seorang hartawan yang dermawan. Padahal bisa jadi kekayaannya itu di dapat dari merampas hak-hak kaum papa itu sendiri.

Begitulah kita – kira-kira – gampang sekali “mengobral” kata pahlawan dalam realita kehidupan yang kita alami, tanpa benar-benar memahami, apa sebenarnya arti pahlawan. Ironinya, kita pun akhirnya merayakan Hari Pahlawan hanya sebagai ritus tahunan dengan mengingat dan mendikte kembali kata-kata Pahlawan kita, tanpa benar-benar untuk hidup bersamanya.

Mengapa kita harus merenung dan menggugat petikan kalimat, “untuk hidup bersamanya?” Karena atas dasar kehidupannya, kita belajar dan kembali menggugat diri kita, “Sanggupkah aku menjadi seperti mereka?”.

Mengapa harus ada kata sanggup? Tentu hal itu karena akhir-akhir ini kita seperti kehilangan sosok pahlawan yang dapat kita lihat dan kita dengar suaranya. Kita seolah telah terbiasa dengan kemunafikan dan keserakahan. Kita telah kehilangan “Pahlawan”.

Oleh karena itu, agaknya menjadi suatu kebenaran kini, seseorang dapat menjadi pahlawan hanya dengan suatu kebetulan, bukan perjuangan.

Pilihan itu terjadi ketika petikan kalimat  “mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan” telah menjadi syair rindu dalam kehidupan yang kini penuh persaingan.

Rindu Pahlawan
Kita rindu pahlawan. Kita rindu kehadirannya. Namun kita enggan untuk hidup bersamanya. Hal itu karena kita merasa bahwa kita tidak sanggup ada di dalamnya. Kita kecewa, pasrah, muak, namun memilih untuk terbiasa dan menikmatinya.

Kita tidak memiliki keyakinan, semangat, serta keteguhan untuk belajar seperti apa yang disampaikan oleh Soekarno : Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Kita tidak menghormati dan membiarkannya mati.

Untuk itu kita harus membuang semua omong kosong “kerinduan pahlawan” yang tertahan di pikiran dan perasaan kita. Omong kosong yang disibukkan oleh rasa ingin untuk menyaksikan kehadiran pahlawan, namun tidak ingin untuk menjadi pahlawan itu sendiri.

Kita harus melepaskan sifat ketergantungan akan kerinduan pahlawan itu pada pendambaan. Sebab pendambaan ada pada subyek lain, bukan diri kita sendiri. Sebab pendambaan hanya kebetulan, bukan perjuangan.

Pahlawan adalah individu-individu yang mampu melampaui dirinya, dan menjadikan dirinya bermakna pada kehidupan orang banyak, bukan kebanyakan orang.

Pahlawan adalah individu-individu yang bekerja tanpa pamrih. Ia berjuang karena keteguhan dan keyakinan bahwa ia harus berjuang.

“Setiap masa ada pahlawannya” demikianlah pepatah mengatakan. Jika kita rindu pahlawan, sanggupkah kita untuk belajar dan menjadi pahlawan di masa kita hidup. Inilah pertanyaan yang wajib kita jawab melalui pikiran, perasaan dan terutama tindakan kita yang mencerminkan nilai kepahlawanan sejati dan semurni-murninya.


[1] Tulisan ini merupakan bahan pidato Upacara Bendera di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat, Senin, 2o November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar