Oleh : Agus
Andreas Tampubolon[1]
Kita bisa saja
menyematkan kata “pahlawan” pada waktu dan tempat tertentu secara sembarangan.
Seperti ketika kita menyaksikan seorang pemuda mati dalam huru-hara demonstrasi
yang tumpah, dan lekas menyatakan, “Dia adalah pahlawan demokrasi.” Padahal
bisa jadi pemuda itu hanya “sekedar lewat” dan tanpa di duga mati tertembus bedil.
Kita bisa saja
menyematkan kata “pahlawan”, pada seorang yang kaya raya karena memberikan
sejumlah uang pada kaum papa, dan menyatakan, “Dia adalah pahlawan hidupku :
seorang hartawan yang dermawan. Padahal bisa jadi kekayaannya itu di dapat dari
merampas hak-hak kaum papa itu sendiri.
Begitulah kita –
kira-kira – gampang sekali “mengobral” kata pahlawan dalam realita kehidupan
yang kita alami, tanpa benar-benar memahami, apa sebenarnya arti pahlawan. Ironinya,
kita pun akhirnya merayakan Hari Pahlawan hanya sebagai ritus tahunan dengan
mengingat dan mendikte kembali kata-kata Pahlawan kita, tanpa benar-benar untuk
hidup bersamanya.
Mengapa kita
harus merenung dan menggugat petikan kalimat, “untuk hidup bersamanya?” Karena
atas dasar kehidupannya, kita belajar dan kembali menggugat diri kita, “Sanggupkah
aku menjadi seperti mereka?”.
Mengapa harus
ada kata sanggup? Tentu hal itu karena akhir-akhir ini kita seperti kehilangan sosok
pahlawan yang dapat kita lihat dan kita dengar suaranya. Kita seolah telah
terbiasa dengan kemunafikan dan keserakahan. Kita telah kehilangan “Pahlawan”.
Oleh karena itu,
agaknya menjadi suatu kebenaran kini, seseorang dapat menjadi pahlawan hanya
dengan suatu kebetulan, bukan perjuangan.
Pilihan itu terjadi
ketika petikan kalimat “mendahulukan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan” telah menjadi
syair rindu dalam kehidupan yang kini penuh persaingan.
Rindu Pahlawan
Kita rindu
pahlawan. Kita rindu kehadirannya. Namun kita enggan untuk hidup bersamanya.
Hal itu karena kita merasa bahwa kita tidak sanggup ada di dalamnya. Kita
kecewa, pasrah, muak, namun memilih untuk terbiasa dan menikmatinya.
Kita tidak
memiliki keyakinan, semangat, serta keteguhan untuk belajar seperti apa yang
disampaikan oleh Soekarno : Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati
jasa para pahlawannya. Kita tidak menghormati dan membiarkannya mati.
Untuk itu kita
harus membuang semua omong kosong “kerinduan pahlawan” yang tertahan di pikiran
dan perasaan kita. Omong kosong yang disibukkan oleh rasa ingin untuk menyaksikan
kehadiran pahlawan, namun tidak ingin untuk menjadi pahlawan itu sendiri.
Kita harus
melepaskan sifat ketergantungan akan kerinduan pahlawan itu pada pendambaan. Sebab
pendambaan ada pada subyek lain, bukan diri kita sendiri. Sebab pendambaan
hanya kebetulan, bukan perjuangan.
Pahlawan adalah
individu-individu yang mampu melampaui dirinya, dan menjadikan dirinya bermakna
pada kehidupan orang banyak, bukan kebanyakan orang.
Pahlawan adalah
individu-individu yang bekerja tanpa pamrih. Ia berjuang karena keteguhan dan
keyakinan bahwa ia harus berjuang.
“Setiap masa ada
pahlawannya” demikianlah pepatah mengatakan. Jika kita rindu pahlawan,
sanggupkah kita untuk belajar dan menjadi pahlawan di masa kita hidup. Inilah
pertanyaan yang wajib kita jawab melalui pikiran, perasaan dan terutama
tindakan kita yang mencerminkan nilai kepahlawanan sejati dan semurni-murninya.
[1]
Tulisan ini merupakan bahan pidato Upacara Bendera di SMA/SMK Swasta Yapim
Taruna Stabat, Senin, 2o November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar