Oleh : Agus Andreas Tampubolon, S.Pd
Gambar/Ilustrasi : Internet
Seorang bocah berkulit hitam, yang kerap
dipanggil teman-temannya Gemblong, menggerutu, lalu mengepalkan tangannya.
Penyebabnya pagi itu, kala ia baru beranjak dari tempat tidurnya yang pesing,
ia menemukan anak ayamnya kembali hilang, entah kemana. Dengan amarah yang
memuncak, kerongkongannya bergetar, dan berbunyi, “akan kubunuh kau!.”
Bagaimana Gemblong tak marah, anak-anak
ayam itu adalah harapannya. Kelak ketika sudah besar, dan menjadi induk, dapat
di jual membantu biaya sekolahnya. Namun, setelah hari itu, dan hari-hari sebelumnya,
total 5 ekor anak ayam telah mati, tak tampak bangkainya, serta siapa pencuri
dan pembunuhnya.
Gemblong pun memasang strategi untuk menjebak
si pencuri dan pembunuh. Dirangkainya seutas tali, diikatkannya ke sebuah dahan
pohon, dan diletakkannya sebagian tali melingkar di dekat kandang, tempat
dimana ia yakin, si pencuri dan pembunuh pasti melintasinya.
“Ngapai Mblong?”, tanya Bendol, sahabat
sekaligus tetangganya.
“Aku lagi menjebak pencuri dan pembunuh ayamku”,
sahut Gemblong fokus dengan jeratnya.
“Emang siapa yang mencuri dan membunuh
ayammu itu?”, tanya Bendol penasaran.
“Serapeh. Siapa lagi coba? Hewan pencuri
dan pembunuh”, sahut Gemblong tegas.
“Apa kau yakin?”
“Yakinlah!” Gemblong optimistis.
Keesokan paginya, Gemblong bergegas, dan
tergesa-gesa, beranjak dari tempat tidurnya yang bau pesing itu, untuk segera
melihat hasil karya dan jerih payahnya: menangkap serapeh, si pencuri dan
pembunuh.
Gemblong kecewa. Jeratnya tak
menghasilkan apa-apa. Tak ada serapeh bergelantungan memelas maaf. Yang ada
hanya tali melingkar, kosong melompong.
Gemblong bergegas memeriksa kandang,
khawatir anak ayam kembali hilang. Wajahnya merah padam menahan amarah: anak
ayam kembali hilang, di telan pencuri dan pembunuh, yang berhasil lari,
bersembunyi, tanpa jejak, dan tanpa sedikit pun rasa empati.
Gemblong pun berpikir dan merenung:
inikah kodrat alam, bahwa mahkluk hidup yang terlempar ke dunia materi,
disesaki rasa lapar, terpaksa mencuri dan membunuh, ketika tak ada lagi makanan
yang pantas untuk di cari. Lantas, apakah yang menjadi penyebab itu semua?
Siapakah yang harus disalahkan dari itu semua? Sehingga anak ayam yang mungil
dan lucu itu, yang menjadi harapan, harus menjadi korban dari kebengisan dunia,
yang tak pernah dan belum sempat anak ayam itu rasakan.
Gemblong pun menjalani hari-hari dengan
hampa dan kecewa. Namun, gemuruh amarah tak jua sirna dari pikiran dan hatinya.
Ia percaya, pencuri dan pembunuh, harus di hukum sepantasnya dari apa yang
dilakukannya. Itu adalah hukum. Itu adalah keadilan.
Malam itu, hujan deras curah dengan
gagah, disertai angin kencang, dan goresan kilat yang membelah mega,
merangsekkan udara dingin. Gemblong pun bergegas, menghindari riuh alam,
beranjak ke tempat tidurnya yang pesing, hendak menjalin mimpi. Namun,
tiba-tiba ibunya berteriak, membuyarkan skenario mimpi yang didambakannya:
menemukan dan menghabisi si pencuri dan pembunuh.
“Ada apa Mak?”, tanya Gemblong lari, dan
terengah-engah.
“Ada ular!”, jawab ibu Gemblong
merinding, ketakutan.
“Dimana?”, Gemblong penasaran.
“Melata dari sini, kesitu”, sambil
menunjuk kandang ayam.
Gemblong bergegas, diambilnya sebuah
senter, dipasangkannnya di kepala. Kemudian, diambilnya sebilah bambu,
digenggamnya erat-erat. Kakinya berjingkat pelan mendekati kandang. Tak lagi
dihiraukannya curahan hujan dan terpaan angin. Fokusnya hanya satu: sang ular
harus mati ditangannya, malam ini juga.
Matanya awas menatap se isi kandang,
mengantisipasi hal yang sangat ia tak ingini terjadi: ular melata, pergi. dan
bersembunyi.
Akhirnya, sorot tajam mata Gemblong,
yang dibantu cahaya senter, menemukan sebentuk benda melingkar di sudut
kandang, yang ia yakini itulah si ular. Bergegas ia hujamkan ujung bambu dengan
sekuat tenaga, menghantam si ular, mengoyak kulitnya.
Ular berontak, marah, mencoba membalas
dengan berdesis kencang, lalu mencoba mematok. Kecewa bahwa yang ia lawan
adalah bambu - dengan rasa sakit ia melata - mencoba lari dari serangan
Gemblong. Namun, dengan sigap pula Gemblong mengatasi. Ia hujamkan sekali lagi
bambu, sekuat-kuatnya, menghantam ular. Ular lemas, tak berdaya.
Tiba-tiba, memori ingatannya tersengat, teringat
buaian mimpi yang tak kunjung terjadi, dan melihat seonggok benda berjiwa, yang
kini ia yakini, ialah pencuri dan pembunuh anak ayamnya yang mungil dan lucu.
Dengan amarah yang memuncak, ia hujamkan berkali-kali bambu, pada ular yang
lemas tak berdaya, yang tak mampu hanya untuk sekedar berdesis, menunjukkan
jati dirinya, bahwa ia adalah ular.
Belum puas membalaskan dendam, ia tarik
ular keluar dari kandang. Di bawah curah hujan dan angin kencang, dipukulinya
ular yang tak berdaya itu, sambil berkata memuntahkan dendam yang selama ini
terpendam: mati kau! Pencuri dan pembunuh jahanam!.
Hingga akhirnya, sang ibu yang merasa
iba, melihat ular yang tampak telah menjadi seoonggok daging bisu tak berdaya,
melerai pertikaian mereka, yang dimenangkan Gemblong dengan perkasa, namun
mengerikan dalam sudut pandang kehidupan manusia.
Demikianlah malam itu berlalu. Mimpi
Gemblong yang diskenariokannya, akhirnya terwujud dalam kenyataan. Air mukanya
menyiratkan rasa puas yang disertai bahagia, memuncak dalam hati dan
pikirannya.
Paginya, Gemblong bangun dengan secerca
harapan indah. Sebelum berangkat sekolah, disempatkannya melawat ke kandang tempat
pertikaian mereka semalam. Ia melihat anak ayamnya tak ada yang hilang. Ia pun
berangkat ke sekolah penuh bahagia.
Sesampainya di sekolah, Bendol yang
melihat air muka bahagia pada wajah Gemblong, terpantik untuk bertanya, “kenapa
kau Mblong?”, tanyanya penasaran.
“Aku telah berhasil menghabisi jahanam
yang mencuri dan membunuh anak ayamku!” Gemblong membusungkan dada.
“Emang, siapa yang mencuri dan
membunuh?”, Bendol ragu.
“Ular!”, jawab Gemblong lugas dan
menceritakan kejadian tadi malam.
Mendengar cerita tersebut, Bendol
bertanya polos, “apakah kau benar-benar yakin, bahwa ular lah yang mencuri dan
membunuh anak ayammu itu?”, sanggah Bendol sekilas.
Gemblong terdiam. Pikiran dan hatinya
melayang dan terhenyak. Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul, “bagaimana jika
bukan ular yang membunuh anak ayamku?” tanya Gemblong sunyi, sendiri, dan penuh
keraguan.
***
Penulis Merupakan Tenaga Pendidik di SMA/SMK Swasta Yapim Taruna Stabat
Usul,, endingnya maunya di akhir paragraf ada pesan moril yg ditulis scr eksplisit. But overall it's great.. Well done :)
BalasHapusSaya, sebagai penulis, memang sengaja tidak menyampaikan pesan "moril" seperti yang Sir John maksudkan. Sebab, saya menulis cerita ini, untuk merangsang pikiran kita, yang selama ini sepertinya sudah "beku" dengan rentetan pertanyaan dalam kehidupan yang paradoks ini. Jadi, saya membiarkan pembaca untuk menginterpretasikan sendiri. Serta berharap ada suatu pertanyaan yang mengusik pikirannya, "siapakah aku, manusia ini?."
Hapus